Penulis: Esther Wijayanti
Jaman sekolah dulu, ada anak pindahan dari daerah. Anak baru. Jika papasan sama saya, dia biasa meludah, saya pikir anak ini kok meludah di lantai ya. Apa mungkin di daerah dia orang biasa meludah sembarangan? Lalu suatu saat papasan lagi, kebetulan di depan laboratorium biologi, dia meludah sambil membanting serbet, bilang, dasar Cina!
Saya menatap dia, heran, ada masalah apa anak ini sama orang Cina, lagian bapak ibu saya orang Jawa. Tapi disitu nggak ada orang lain lagi, cuma saya, jelas dia meludah karena saya, hla wong bicaranya ke saya. Saat itu, sepanjang penyetahuan saya, di Jakarta orang nggak terpikir soal SARA. Punya teman nggak pernah terpikir untuk tau, agamanya apa, sukunya apa, berteman ya berteman saja.
Waktu berlalu, saya masih merenungkan peristiwa tersebut. Bukan, bukan sakit hati. Tapi peristiwa itu membuat saya menganalisa dan menyimpulkan, bahwa kebencian terhadap orang yang berbeda suku ras dan agama itu ditanamkan orang tua sejak kecil. Dan di daerah/propinsi tertentu, intensitasnya lebih tinggi daripada di Jakarta.
Masyarakat yang sejak kecil ditanamkan untuk perduli soal SARA ini tidak sedikit. Di masa sekarang, bisa menjadi tools yang penting dalam politik.
Kirain itu anak suka ngeludah sembarangan, taunya ngeludahin gw. Wkwkwk dodol nggak sih…
.
Esther Wijayanti