Penulis: Erri Subakti
Banyak yang masih bertanya-tanya, keberadaan Pangkostrad Mayjen Soeharto pada peristiwa G30S 1965. Dilihat dari pangkat dan fungsi jabatan Soeharto saat itu bukan jabatan yang tak memiliki wewenang strategis, dan pangkatnya juga termasuk perwira tinggi. Maka jika ada kelompok seperti PKI yang akan melakukan sebuah gerakan revolusioner terhadap negara, sudah pasti posisi Soeharto harus ikut diperhitungkan.
Kewenangan Pangkostrad Mayjen Soeharto adalah bisa menggerakan pasukannya. Kewenangan yang tidak dimiliki oleh jenderal lainnya, meski pangkatnya lebih tinggi dari Soeharto
Pilihannya, apakah Soeharto termasuk jenderal yang harus ikut diculik, atau jenderal di pihak PKI, atau pihak yang akan diam saja dan tidak membahayakan pergerakan PKI.
Dari alibi yang disampaikan oleh Seoeharto adalah pada 30 September 1965 ia tengah di rumah sakit karena anaknya Hutomo Mandala Putra (Tommy) tengah dirawat akibat tersiram kuah sop panas.
Dari cendananews.com cerita mengenai Tommy tersiram kuah sop panas adalah saat itu Tommy yang berusia 4 tahun belajar makan sendiri dan tangannya menyenggol mangkuk berisi kuah sop panas. Dan kuah sup panas itu menyiram sebagian tubuhnya.
Bayangkan, anak usia 4 tahun belajar makan dengan kuah panas sendiri? Sepanas apa kuah supnya? Jangankan belajar makan sup, anak usia 4 tahun belajar makan nasi pun pasti tumpah-tumpahan.
Lalu kuah sup panas tumpah ke sebagian tubuhnya. Tubuh bagian mana? Tangan? Paha? Tubuh bagian depan? Tidak dijelaskan.
Kalau tubuh bagian depan terkena, dada dan perut, masih terlindungi oleh baju yang dikenakan Tommy, artinya luka tidak akan separah jika kulit terkena air panas langsung.
Itu pun dikatakan bahwa Ibu Tien langsung mengoleskan salep untuk luka bakar ke tubuh Tommy. Maka separah apa panasnya kuah sup Ibu Tien hingga Tommy harus dirawat di rumah sakit?
Sementara dari Kompas.com dituliskan bahwa:
Seusai mengikuti acara itu (rapat Persit, red.), Ibu Tien pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Melihat ibunya pulang, anak-anaknya meminta dibuatkan sup kaldu tulang sapi.
Ibu Tien lalu membuatkannya. Namun, ketika dirinya sedang membawa panci berisi sup panas yang hendak ditaruh di ruang makan, tiba-tiba Hutomo Mandala Putra –Tommy Soeharto saat itu berusia empat tahun– menabrak tangan ibunya.
Akibatnya, sup itu tumpah dan mencelakai Tommy. Air sup tumpah dan mengguyur sekujur tubuhnya. Kulitnya terbakar dan melepuh-lepuh.
Terdapat 2 perbedaan versi cerita, yang keduanya berasal dari Soeharto sendiri.
Versi kedua, kronologi tersiramnya Tommy dengan kuah sup panas adalah saat Tommy menabrak Ibu Tien yang sedang membawa sup panas tersebut. Dan dikatakan mengguyur sekujur tubuh Tommy.
Tak pernah ada yang tau sesungguhnya versi mana detail atau kronologi tersiramnya Tommy dengan kuah sup panas.
Tapi yang pasti bahwa Pangkostrad Mayjen Soeharto yang menempati posisi strategis di TNI AD, yang kerap menggantikan Panglima TNI Jend. A. Yani jika berhalangan, bukan termasuk jenderal TNI yang jarus diculik. Sebaliknya Mayjen Soeharto dianggap sebagai orang yang tidak berbahaya oleh PKI. Dianggap tidak berbahaya, tentu dianggap sebagai “kawan”.
Maka Mayjen Soeharto pada malam 30 September 1965 sudah tau ada G30S yang akan dilakukan, tapi ia memilih untuk diam saja. Dan “kebetulan” alibinya sedang di rumah sakit menunggui anaknya yang tersiram kuah sup panas. Padahal nasib negeri ini ditentukan oleh peristiwa berdarah malam itu
Fakta Soeharto mengetahui adanya G30S diakuinya sendiri, dikutip dari cendananews.com bahwa pada malam itu, Brigjen Sabur menemui Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk mengajaknya, “Kamu mau ikut tidak?” Dan Soeharto menolaknya karena Ibu Tien melarangnya.
Tidak heran setelah PKI dihabisi oleh Soeharto, banyak tapol (tahanan politik) yang bertanya kepada Soeharto, “Sebenarnya Soeharto mau ikut siapa?”
Pertanyaan yang menguap dan menghilang tak berarti lagi, seperti uap kuah sup panas.