Penulis: Pande K. Trimayuni
Dalam spiritualisme masyarakat Bali dikenal ajaran tentang hubungan yang energetik antara buana alit/mikrokosmos (manusia) dan buana agung/makrokosmos (alam semesta). Kedua kutub ini, mikro dan makro, perlu mendapat perhatian agar manusia dapat hidup damai-sejahtera di muka bumi.
Hari Suci Nyepi, yang jatuh pada 25 Maret di tahun 2020 ini dimaknai masyarakat Bali sebagai wahana untuk membersihkan, meruwat dan merawat hubungan antara mikro dan makrokosmos. Itulah kearifan lokal dari Kosmologi Pulau Dewata. Satu-satunya tempat yang menjalankan kegiatan Nyepi di dunia sepertinya hanya Bali.
Kita hidup di dunia seringkali begitu terobsesi dengan segala yang berukuran besar (makro): rumah besar, mobil besar, badan besar, dan sebagainya. Kita lupa bahwa yang kecil (mikro) juga sama pentingnya. Baik Makrokosmos maupun mikrokosmos, dua-duanya sama-sama mengalami proses penciptaan (utpti), pemeliharaan (sthiti) dan peleburan (prelina). Dapat dikatakan bahwa peleburan (prelina) kecil tengah terjadi saat ini disebabkan oleh Virus Corona baik di tingkatan mikro (banyak korban sakit bahkan meninggal dunia) maupun di tingkatan makrokosmos (pengaruh dalam segala sektor kehidupan).
Seperti gajah yang tidak berkutik ketika digigit semut, begitu juga situasi masyarakat dunia saat ini dimana kita, manusia-manusia bertubuh besar ini, tidak berkutik dihadapan Virus Corona yang ukurannya teramat mikro, hanya berdiameter 400-500 mikrometer! Manusia dibuat tidak berdaya. Betapa rapuh dan rentannya ternyata kita ini. Hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan bangsa-bangsa di dunia, saling berlomba untuk menunjukkan kebesarannya. Beberapa waktu lalu kita ditunjukkan dengan pamer kemegahan, show of force kapal induk milik Amerika Serikat yaitu “Dwight D. Eisenhower” yang konon dilengkapi delapan skuadron jet tempur F/A-18 E serta helicopter untuk serangan maritim dan dijaga oleh sekitar 6000 orang pasukan pelaut Amerika. Pada saat bersamaan, China yang sedang perang dagang dengan Amerika Serikat juga memamerkan kapal induknya yang bernama “Shandong” yang diklaim sebagai kapal induk terbesar di Asia dengan panjang 700 meter, yang dilengkapi 27 jet tempur dan sekitar 15 helicopter dengan berbagai jenis. Ternyata apa yang terjadi kemudian, perlombaan demi menjadi yang “terbesar” diantara bangsa-bangsa yang bersitegang ini, justru dibuat kelimpungan oleh yang “terkecil”, yaitu Virus Corona.
Sejauh mana kemudian kejadian ini bisa memberi pelajaran?
Bagi masyarakat Bali, satu hari setiap tahun adalah hari evaluasi di tingkatan mikro maupun makro kosmos. Hari Nyepi adalah Isolasi sepenuhnya, mengurung diri tidak keluar rumah selama 1 hari. Ini bukanlah hal baru, tetapi bagian dari ajaran laku hidup manusia Bali, yaitu; tapa (berpuasa)- Brata (pengendalian hawa nafsu)-Yoga (menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, Tuhan yang Maha Esa) dan Samadi (realisasi diri). Mengurung diri tidak keluar rumah adalah salah satu bagian dari Brata. Sunyi senyap, gelap gulita. Menyepi dalam aura introspektif. Berpuasa bersama bumi pertiwi, terhubung dengan Tuhan.
Ada empat prinsip yang diterapkan Hari Nyepi, yaitu: tidak boleh bekerja (amati karya), tidak boleh bepergian (amati lelungaan), tidak boleh menikmati hiburan (amati lelanguan) dan tidak boleh menyalakan api (amati geni). Sebagian ada yang menjalankan pertapaan lebih serius lagi seperti: tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak bicara. Tidak ada kekhawatiran kehilangan keuntungan atau kesenangan. Semua dijalankan dengan hati gembira.
Dan duniapun menerima, bahwa Bali sebagai destinasi wisata dunia perlu “Me Time”. Setiap hari Nyepi datang, sering ada obrolan, “Andai seluruh dunia ikut Nyepi satu hari ini…memberi waktu bumi untuk beristirahat sejenak.” Ternyata di Bulan Maret ini, bertepatan dengan Hari Nyepi di Bali, beberapa wilayah di dunia menyerukan warganya untuk tidak keluar rumah.
Sudah banyak pemimpin dunia dan aktivis yang sebenarnya sudah mengingatkan tentang krisis sumber daya alam, pemanasan global, dan ancaman lainnya yang mengintai umat manusia akibat cara hidup yang sering semaunya dan melawan hukum alam. Virus Corona muncul akibat cara hidup serampangan dan kurang bertanggungjawab manusia.
Menariknya, orang Bali percaya bahwa ada alasan spiritual di balik wabah Corona. Dalam kosmologi Bali, wabah penyakit termasuk pengaruh bhuta kala (golongan makhluk dari dimensi lebih rendah). Dan, ketika Corona mewabah seperti sekarang ini, masyarakat mengartikannya sebagai isyarat bahwa pengaruh bhuta kala sedang “nyelang margi (datang/lewat)”, jangan keluar rumah. Ini merupakan kebijakan yang sudah dipercaya dari generasi ke generasi. Setiap hari, ketika senja tiba misalnya, orang-orang tua biasanya melarang anak-anaknya untuk keluar rumah karena itu adalah waktu buat bhuta kala. Pemahaman akan waktu dan siklus semesta adalah bagian dari kearifan kosmologi Pulau Dewata. Ada saat bekerja, ada saat beristirahat, ada saat mengevaluasi. Para nelayan tidak akan memaksakan diri untuk berlayar bila memang bukan waktunya, begitu juga para petani mengetahui dengan baik waktu-waktu untuk bercocok tanam. Dalam kosmologi Bali, “Wariga” dan “Dewasa” adalah dua istilah yang sudah terhayati dalam kehidupan sehari-hari. Wariga artinya cara untuk mendapatkan keterangan tentang kondisi suatu hari, sedangkan dewasa adalah baik atau buruknya suatu hari untuk melakukan sesuatu. Dalam Wariga Bali, sejak Bulan Januari 2020 sampai dengan awal April 2020 suasana kosmik memang kurang baik. Suasana kosmik yang kurang baik bisa dinetralisir bila kita menjalani kehidupan yang selaras dengan alam. Namun jika tidak, maka berbagai macam bencana alam dan “grubug (penyakit)” bisa terjadi. Serangkaian upacara menjelang Hari Suci Nyepi seperti Melasti/Mekiyis (pembersihan diri ke pantai/sungai) dan Tawur Agung (pembersihan aura negatif alam semesta dengan pecaruan yang menyertakan arak-berem (berfungsi sebagai sanitizer) dan diakhiri dengan Hari Suci Nyepi (mengurung diri di rumah) merupakan upaya masyarakat Bali untuk menjaga harmoni kehidupannya. Bhuta Kala seperti kemunculan Virus Corona bukan untuk dimusuhi, tetapi dijinakkan sehingga ia tidak menganggu ketenteraman hidup kita. Wabah ini jangan dijadikan sebagai trauma tetapi justru pelajaran hidup agar kita lebih mawas diri dan bijaksana menjalani kehidupan kedepan.
*****
Pande K. Trimayuni adalah seorang penulis, pengajar dan peneliti lulusan Universitas Indonesia dan The London School of Economics and Political Science (LSE) Inggris