SintesaNews.com – Peristiwa temuan radioaktif di Perumahan Batan Serpong pada Februari 2020 lalu kini malah membuka tabir adanya dugaan korupsi pengadaan peralatan di Bapeten.
Direktorat Reserse Kriminal Polda Metro Jaya akhirnya meningkatkan status penyidikan dari hasil penyelidikan Reskrim mengenai dugaan mark up (penggelembungan) anggaran untuk pengadaan peralatan Deteksi Nuklir (RDMS, RPM dan Surveymeter) yang nilai anggarannya spektakuler.
Untuk pengadaan Alat Pemantau Lingkungan kontraknya senilai Rp 5 miliar lebih dan Mobile Detector dengan nilai kontrak senilai Rp 2 miliar lebih.
Peneliti senior Batan, Susilo Widodo mengatakan bahwa pemasangan RDMS (Radiological Delta Monitoring System) untuk mendeteksi kebocoran radioaktif kurang tepat. Karena RDMS hanya menangkap sinar gamma dan alfa. Padahal radiasi nuklir juga memancarkan sinar beta dan neutron.
Laporan mengenai dugaan tindak pidana korupsi di Bapeten sebenarnya telah dilaporkan sejak 16 September 2014 di Bareskrim Polri dan dilimpahkan ke Polda Metro Jaya 31 Juli 2015. Kemudian di tahun 2017 Indonesia Corruption Watch (ICW) juga telah melaporkan dugaan korupsi dalam pengadaan barang laboratorium radiasi alat XRF Spectrometry di Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
ICW pada waktu itu sempat menemukan indikasi dugaan korupsi dalam proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 tersebut. ICW secara resmi menyatakan ada indikasi kerugian negara dalam proyek dengan Rp1,1 miliar. Harga tiap unit lebih mahal Rp200-600 juta. Kasus tersebut dihentikan karena pemenang tender proyek pengadaan barang telah mengembalikan selisihnya ke kas negara.
Temuan radioaktif yang tiba-tiba ramai diberitakan media bulan Februari lalu memang mengandung beberapa kejanggalan. Seperti bahwa Bapeten menemukan radioaktif sejak akhir Januari namun Bapeten menggelar konferensi pers pada pertengahan Februari 2020.
Lalu dari hasil pemeriksaan Whole Body Counting terhadap warga sekitar yang terindikasi dengan paparan radiasi radioaktif juga sangat rendah.
Pakar proteksi radiasi Togap Marpaung mengatakan, “Potensi terpapar radiasi eksterna bisa terjadi karena masyarakat sekitar bermain, duduk-duduk, olahraga dan sebagainya di dekat atau di atas tanah yang terkontaminasi sumber radioaktif Cs-137 tersebut dalam waktu yang lama.”
Sementara pihak Bapeten menyebut limbah radiokatif itu sejak 1 tahun.
Togap Marpaung yang juga merupakan Inspektur Utama Bapeten ini menjelaskan, “Perkiraan dosis eksterna yang diterima warga sekitar dapat dihitung dengan patokan nilai pengukuran laju dosis di beberapa tempat, yaitu nilai 149 uSv per jam. Ini berarti kalau berada di situ 1 jam, dia akan dapat dosis = 149 uSv micro Sivert. Per tahun berapa? Tak ada yang tahu.”
“Kalau mau hitungan efek radiasi, jangan dibandingkan kepada dosis ambang atau Nilai Batas Dosis anggota masyarakat. Hakikat sebenarnya adalah tidak pada soal dosis tinggi atau rendah. Tetapi…, masalah utama adalah kenapa ada sumber radioaktif di situ, dari mana, juga apa motifnya?” ujar alumnus dari Jurusan Fisika FMIPA UI ini.
Tidak salah apabila ada dugaan penemuan radiasi Sesium 137 di Perumahan Batan Indah Serpong digunakan sebagai momentum Bapeten untuk menambah proyek baru. Buktinya tak lama setelah itu Bapeten berencana mengimpor 126 RDMS dari Jerman yang harga per unitnya senilai Rp800 juta.
Kepala Bapeten Jazi Eko Istiyanto dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta, Selasa (18/2/2020) mengatakan, “Kami punya rencana untuk memasang 126 RDMS sebuah detektor nuklir di stasiun-stasiun BMKG.”
“Sehingga tidak hanya daerah Serpong yang diawasi tetapi juga bisa tempat lain untuk menemukan apakah ada (radiasi nuklir, red.) di tempat lain atau tidak,” katanya.
Malah tak tanggung-tanggung, jika proyek ini berjalan Bapeten akan menyiapkan 600 alat detektor radiokatif untuk digunakan oleh para menteri, kepala lembaga, kepala daerah dan pejabat eselon 1.
Padahal sebenarmya Batan telah mampu membuat detektor radiasi radioaktif dengan teknologi air monitoring yang telah dilakukan oleh negara-negara maju. Dan biaya produksinya hanya setengah dari produk impor.
“Proyek itu hanya akan membuang uang negara,” pungkas Togap Marpaung.