Singa Betina di HO >< Terperangkap antara Hidup dan Mati

Penulis: Erri Subakti

“Ingat! Setiap hari Jessica! Minum obatnya! Bukan sekali. Setiap hari!”

Ucapan dokter Edy dalam alam bawah sadarnya membuatnya terbangun persis di saat pesawat sedikit berguncang kala roda-rodanya menyentuh aspal landasan Bandara Soekarno-Hatta.

-Iklan-

Tetiba dirinya ingin mengetahui anak-anaknya. Pukul berapa sekarang pikirnya.

Hm…, pasti anak-anak sedang di sekolahan mereka.

Sejak ia full menenggelamkan diri dalam pekerjaannya, jarang sekali ia bertemu anak-anaknya, Axelio dan Hazeline. Jess sering pulang kerja di atas jam 23.00. Itu paling cepat. Lebih sering ia pulang di atas midnite, bahkan jam 2 atau hampir jam 3. Untuk kemudian jam 6 pagi sudah bersiap lagi untuk bergelut dengan pekerjaannya. Anak-anaknya lebih banyak diurus oleh ibu Jess.

Bagi Jess semua ambisi dalam pekerjaannya demi untuk menjamin pembiayaan anak-anaknya, pendidikan dan kehidupan mereka. Sebagai seorang single parent Jess berusaha untuk terus berbahagia dengan pekerjaannya sehari-hari, di kala mantan suaminya tak memberikan apapun untuk mereka sejak perceraian.

Terkadang memang ada kesempatan Jess mengajak anak-anaknya bermain. Bagaimana pun anak-anak tetap butuh sosok ibu mereka ada dalam rengkuhan mereka. Keterpurukan mentalnya ia sembunyikan jauh di dalam, dalam sekali. Yang nampak di permukaan adalah Jessica si singa betina, pongah menantang binatang-binatang lainnya demi menjaga kenyamanan kehidupan keluarganya. Tak ada yang bisa menaklukkan aku, pikirnya.

Meeting-meeting, perencanaan-perencanaan program, strategi komunikasi dan sebagainya, merupakan kesibukan pekerjaan yang dianggapnya lebih penting dibandingkan dengan perintah dokter untuk minum obat setiap hari dan kontrol ke dokter sebulan sekali.

Daripada waktunya hilang jika harus menemui dokter, padahal ada meeting-meeting yang sangat penting, apalagi meeting dengan BOD (Board of Director) di grup perusahaan milik salah satu orang terkaya di Indonesia ini, bagi Jess, ia tak mau merelakan waktunya seharian penuh untuk mengurus obat-obatnya dan konsultasi dengan dokter. Sampai akhirnya ia lupa untuk membeli obat ketika habis. Dan tak pernah lagi minum obat.

Ia abaikan alarm tubuhnya yang memberikan warning.

Pikiran-pikiran berkelebatan di kepalanya. Banyak sekali. Tak terasa mobil kantor pusat yang menjemputnya dari Bandara Soeta telah tiba di pusat kota. Satu belokan kemudian sampailah Jess di Head Office (HO) sebuah grup bisnis konglomerat di negeri ini.

The Devil Wears Prada, itu selentingan yang sampai ke telinganya bagaimana orang-orang kantor HO menjulukinya. Jess merasakan orang-orang menghormat padanya. Lebih tepatnya, takut. Atau segan.

Di lantai 12, Mbak Iyem, petugas pantry yang sedang menjajakan rempeyek buatannya untuk ditawarkan ke para karyawan langsung memasukkan semua kemasan rempeyek ke dalam tas besar, setelah orang kantor terutama dari tim PR (public relation) mengabarkan kehadiran si singa betina di kantor pusat. Bisa kena semprot hebat Mbak Iyem jika terpergok tengah jualan rempeyek di kantor.

Melihat tingkah Mbak Iyem, Aryo salah satu staff finance yang baru keluar dari pantry sambil memegang cangkir kopi, nyeletuk, “Penjualan rempeyek Mbak Iyem yang sedang naik tren-nya terkontraksi dengan kedatangan the Devil Wears Prada. Maka peningkatan penjualan rempeyek Mbak Iyem dipengaruhi dari seberapa seringnya Bu Jess ke luar kota.”

Beberapa staff kantor terkekeh di meja masing-masing mendengar celetukan Aryo.

Derap langkahnya anggun, bagai flaminggo yang sedang menari. Namun flaminggo yang ini bukan cantik saja, juga menunjukkan sisi dinginnya bagai singa yang sedang mengawasi buruannya.

Tatapannya dingin. Raut mukanya poker face, tak bisa ditebak suasana hatinya sedih, murung, marah, atau happy. Jika kebetulan bersitatap dengannya, siapapun akan mengalami tiba-tiba merasa terintimidasi. Jangankan bertatap mata, lirikannya pun seakan intimidatif bagi siapapun, terutama yang belum begitu mengenalnya. Supirnya di Kalimantan, si Marwan, lumayan agak bebal dengan mata intimidatif itu sehingga ia bisa cuek dan terhitung salah satu pegawai yang dekat dengan Jessica.

Dari security di pos, depan lobby lalu mengiringinya ke depan lift dan memencetkan lantai 20, hingga resepsionis berdiri tegap, atau tegang menyambut kehadiran Jess di HO. Sapaan selamat pagi dari mereka semua tak dijawabnya. Lurus, fokus, anggun, bak di atas catwalk dan menikmati applause audience-nya.

Merry, sekretaris Jess di HO telah siap di depan lift dengan “starter pack”-nya. I-pad, HP, dan secangkir coffee latte tanpa gula untuk bosnya.

Pintu lift terbuka, Merry menyapanya santun. Coffee lattenya tak disodorkan, hanya untuk jika bosnya itu memintanya saja baru ia segera sodorkan. Jessica terus masuk ke ruangannya, sambil Merry mengingatkan tentang schedule pekerjaannya hari ini. Selain interview calon anggota baru yang dimintanya, seusai itu ia harus ke UI (Universitas Indonesia) menjadi dosen tamu untuk mata kuliah Community Relations.

***

[Terperangkap antara Hidup dan Mati]

Setelah vertigo mereda. Masih dengan mata terpejam, Jess mulai menenangkan dirinya sendiri. Dalam diam ia menyimak kesunyian. Ia mulai menyadari suara-suara mesin di sekelilingnya, bersahut-sahutan, seperti saling mendahului. Mesin itu tentu saja memberikan informasi ada apa dengan tubuhnya.

Jess mulai tenang sejenak. Ia mulai membuka kembali matanya. Menyadari artinya ia belum mati. Ia di kamar RS yang dikelilingi oleh peralatan kesehatan.

Kini ia melihat selang-selang, matanya menyusuri pangkalnya dari mesin-mesin yang ia dengar, lalu ia memperhatikan ujungnya yang ternyata masuk ke tubuhnya. Jess tercekat. Apakah dirinya sekarat? Hingga harus ditopang oleh peralatan yang dilihatnya untuk bisa terus bernafas? Pikirnya dengan tanda tanya.

Jess lalu melihat tangan kirinya penuh dengan tusukan-tusukan jarum. Ia mencoba menggerakkan tangan kirinya. Berat, dan sakit.

Pada saat itu juga Jess melihat seketika angka-angka di monitor itu berlarian semakin banyak. Jess bingung kenapa.
Jess belum bisa mengingat apapun sebelumnya.

Ia melemparkan pandangan ke jendela besar di kamar itu. Di kejauhan awan bergulung-gulung kelabu, sebentar lagi pecah gumpalan awan itu mengguyur bumi. Langit redup dengan mendungnya cuaca hari itu. Kesunyian yang dirasakannya semakin pekat dengan kondisi alam di luar sana.

Apa itu? Samar ia melihat seperti struktur jembatan di balik cuaca kelabu. Otaknya sedikit bekerja, sungguh struktur jembatan yang familiar ia kenali.

Golden Gate!

Apakah ini hanya mimpi? Atau ilusi?
Ia menerawang mengingat apapun yang bisa ia ingat. Masih blank. Matanya menatap langit-langit yang putih. Kini ia juga mulai menyadari bahwa ruangan ini terang benderang dengan dikelilingi tembok berwarna putih. Namun penerangan ini tak juga membawa otaknya bisa mengingat hal apapun sebelum ini.

Aku hidup? Atau aku sudah mati?

Aku terperangkap antara hidup dan mati.
Bayang-bayang kematian seakan mengikutiku.
Tubuhku hanya sekedar raga tanpa nyawa.
Seakan rohku menggelepar mencari jalan keluar.

Dingin makin menggerayangi tubuhnya. Terang benderang lampu di ruangan putih ini tak menghangatkannya sedikit pun. Suara-suara mesin seakan berlomba mencengkeram hidupnya.

Jess merasa terperdaya dalam kesendirian dalam ruangan. Tak bisa melakukan apapun bahkan untuk bergerak sedikit saja, ia tak mampu.

Akhirnya otaknya mulai mengingat sesuatu. Tentang Golden Gate yang dilihatnya jauh dan samar dari balik jendela. Ia ingat akan membawa anak-anaknya ke sana. Lalu di mana anak-anaknya sekarang berada? Keluargaku, kedua orangtuaku dan adik-adikku di mana?

Jess mulai sadar dirinya memiliki keluarga: anak-anak, orang tua dan adik-adiknya. Jantung Jess berdegup keras. Ketakutan melanda. Jantungnya seakan mau copot ia bingung. Ia ingin berteriak. Jess berteriak….

“……” tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya.

Tiba-tiba terdengar sayup dan semakin mendekat suara orang-orang dari balik pintu. Pintu kamar dibuka dari luar. Jess mencoba menengok tapi ternyata lehernya berat sekali untuk digerakkan.

“Mamaaa….” suara gadis kecil tiba-tiba bagai oase di padang gurun kematian.

Jess melihat anaknya. Ia teringat itulah anaknya. Ia tau tapi ia lupa siapa namanya. Ia hanya bisa memandangi gadisnya sambil berusaha berpikir keras siapa namanya. Jess tak ingat sama sekali.

“Mama….” suara kedua dari lelaki yang lebih besar menghampirinya.

Jess kembali ingat lelaki itu juga anaknya. Meski ia juga lupa siapa namanya. Jess berusaha keras mengingat-ingat namun nihil tak ada secuil ingatan mengenai nama anak-anaknya. Lupa total.

Kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD menangis. Mereka saling bertatapan dengan sendu. Ada kesedihan mendalam menguar dalam ruangan putih itu. Titik-titik bening masih menggenangi mata bocah-bocah itu. Jess mencoba tersenyum untuk menghibur mereka tapi wajahnya tak bisa digerakkan untuk tersenyum. Jess benar-benar bingung dan bertanya-tanya dalam pikirannya, ada apa sebenarnya.

Jess mencoba merengkuh kedua anaknya, tidak bisa. Ia tak bisa lakukan apapun kecuali hanya memandangi mereka.

Tubuhnya tak bisa bergerak sama sekali. Jess layu dan terpuruk. Ia tak bisa melakukan apapun bahkan untuk menggapai kedua anaknya. Jess lalu ingin menggerakkan tangan kanannya, tidak bisa, berat sekali.

Jarum-jarum dengan selang tipis menusuk di tangan kanan Jess. Tapi ia tidak merasakan sakit sama sekali di tangan kanannya. Meski demikian ia tak bisa mengangkat tangan kanannya.

Kini ia coba mengangkat tangan kiri. Bisa. Kedua anaknya pindah ke sisi kiri ranjang. Jess berusaha menggapai mereka tapi susah minta ampun. Tangan kirinya hanya bisa diangkat saja, belum bisa menggapai. Ia melihat mata anak-anaknya. Ada air mata mengambang di sana.

Jess kini mencoba tersenyum tapi bibirnya berat untuk digerakkan.

Saat itu dua orang masuk ruangan dan menghampiri Jessica. Jess melihat mereka dan ingat siapa mereka, kedua ortunya. Ayahnya langsung memeluk Jess. Menyusul ibunya melakukan hal sama. Kedua mata mereka basah sekali.
Wajah Jess dipegang-pegang oleh ayahnya. “Jessica anak Papa, kamu sudah sadar sayang,” gumam ayahnya.

Jess mencoba mengangkat tangan kirinya berusaha menggapai papanya. Tangan kirinya dicium oleh papanya berkali-kali.
Ibunya melihat Jess dengan kegalauan tanpa suara tanpa senyuman.

Ingatan Jess muncul. Nama-nama anaknya “pop up” di kepalanya. Lio dan Hazel. Axelio dan Hazeline.

Ia ingin menyebut nama mereka namun tidak ada suara yang keluar. Ia paksakan untuk menyebutnya kembali. Keluar suara namun aneh terdengar. Ia sendiri tidak mengerti yang ia dengar dari ucapannya. Ia berniat menyebut nama anak-anaknya namun suara yang keluar hanya seperti suara tanpa makna tanpa bahasa.

wzwzwayawzwa…

“Mama kok suaranya seperti alien?” tanya Hazel lugu.

“Iya Ma, suara Mama seperti alien,” timpal Lio, kakaknya.

Ucapan anak-anaknya tersebut entah kenapa malah menghiburnya. Bahkan ia ingin tertawa tapi tak bisa.

Saat itu pula adik-adiknya datang menjenguknya. Paling tidak kini ia menyadari bahwa dirinya berada di tengah-tengah keluarga yang mencintainya.

Bersambung.

Sebelumnya:

Diam. Sunyi. “Aku Rebah Tak Berdaya”

Baca dari awal:

Di Batas Kematian

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here