Prof Henri Subiakto: Akan Terjadi Kolonialisme Digital

Penulis: Nurul Azizah

Saat ini orang sudah tidak bisa melepaskan diri dari handphone (HP) atau gadget (gawai). Tidak tua tidak muda, laki-laki perempuan sama saja. Mereka sudah kecanduan HP untuk aktivitas sehari-hari. Tanpa HP rasanya ada yang janggal. Dimana-mana orang sudah menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan HP.

Penulis amati banyak orang kecanduan dengan gadget, dengan ciri-ciri diantaranya: bermain gadget setiap waktu luang, di dalam rumah maupun di luar rumah. Merasa gelisah jika tidak menggunakan gadget. Malas melakukan aktivitas lain karena di HP banyak konten dan hal-hal yang menarik. Lebih sering berada di rumah daripada di luar rumah bahkan malas beranjak dari tempat tidur. Sulit tidur malam hari, karena di HP ada kouta gratis di malam hari. Sulit berkonsentrasi di sekolah atau di tempat kerja.

-Iklan-

Kecanduan dengan HP menjadi keresahan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Hal ini disampaikan oleh pakar hukum komunikasi Unair Surabaya Prof Henri Subiakto yang juga dipanggil “Bapak Kedaulatan Digital” oleh teman-teman jurnalis.

Tulisan ini diambil dari podcast Prof Henri Subiakto di kanal YouTube milik Divisi Kritik yang tayang, Sabtu 4 Januari 2025.

“Akan terjadi kolonialisme digital di Indonesia,” begitu cuplikan pertama yang muncul di kanal YouTube tersebut.

Dengan adanya kemajuan teknologi digital yang luar biasa menyebabkan semua masyarakat pengen mengakses internet baik yang tinggal di kota maupun di desa. Masyarakat ingin memanfaatkan teknologi digital untuk semua kegiatan terutama untuk e-commerce, e-banking, dan aplikasi-aplikasi lainnya yang menggunakan internet. Tetapi yang terjadi di daerah sangat minim infrastruktur digital yang dibutuhkan oleh masyarakat di pedesaan. Tidak bisa dipakai untuk main YouTube, Facebook, WhatsApp-an, Tik Tok, Instragram, Twitter (X) dan lain-lain platform media sosial. Kalaupun ada bandwidthnya (kecepatan internet) sangat kecil hanya 2-4 Mbps.”

Mereka sulit untuk mentransfer data karena jaringannya rendah sekali. Mereka tidak bisa melakukan aktivitas unduh dan unggah data atau postingan lainnya.
Dalam kondisi yang demikian katanya pemerintah mau menyediakan infrastruktur internet yang memadai. Ternyata infrastruktur digital yang dijanjikan oleh pemerintah banyak masalah bahkan BTS nya dikorupsi, akhirnya layanan internet dari pemerintah tidak ada untuk wilayah pedesaan dan daerah terpencil.

“Karena masyarakat menganggap internet itu kebutuhan pokok, seperti oksigen. Walaupun mereka tinggal di pulau-pulau terpencil (saat itu saya mengadakan riset di daerah timur Indonesia) tapi masyarakat mobile (bergerak), mereka pernah ke ibukota kabupaten pernah ke ibukota provinsi sehingga kebutuhan internet, ada layanan internet yang bagus mereka bawa, ada harapan untuk bisa mengakses internet,” jelasnya.

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Telkomsel dan lain-lain perusahaan penyelenggara internet hanya bisa dinikmati orang kota tapi tidak untuk orang di pedalaman atau di wilayah Timur Indonesia. Sehingga terjadi kesenjangan digital, akhirnya masyarakat di daerah tertinggal memakai starlink, korporasi milik asing. Starlink sudah menjadi kebutuhan utama. Masyarakat di pedesaan membayar starlink memakai dana desa. Beberapa kepala sekolah membayar starlink memakai dana bantuan operasional sekolah (BOS).

Negara kita seolah-olah terlayani oleh perusahaan asing. Ini bukan simbiosis mutualisme, bukan sesuatu yang saling menguntungkan. Ya memang saat ini starlink sangat membantu, tapi akan menjadi masalah baru pada masa depan. Terutama kalau kita melihat dari persoalan mengenai keamanan digital. Kedaulatan digital, keamanan data dan lain-lainnya. Bagi masyarakat yang penting bisa mengakses internet dan bisa bermain dan menggunakan informasi di banyak platform medsos. Yang lebih ngeri lagi digunakan untuk layanan kesehatan di puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya. Untuk kegiatan para pebisnis dan pihak keamanan dalam hal ini kepolisian di daerah juga menggunakan starlink.

Kalau di daerah Papua bisa jadi dipakai oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka tidak membutuhkan internet dari pemerintah. Bahkan banyak reseller starlink di Indonesia, contohnya Telkomsat yang menawarkan Starlink bisnis service untuk segmen pelanggan bisnis berkecepatan tinggi. Primacom yang menawarkan layanan PrimaStar untuk bisnis dengan kecepatan 220 Mbps per terminal. Menyediakan customer support 24 jam nonstop. Ada juga data lake Indonesia yang menggandeng Hypermart dan Lazada untuk menjajakan produk Starlink. Layanan reseller starlink mulai berkembang dan banyak pengguna berpindah ke Starlink untuk aktivitas para pebisnis, seperti hotel dan restoran yang ada di daerah.

“Ini infrastruktur lho bukan sekedar over the top yaitu platform streaming yang menawarkan layanan penonton melalui internet,” tegasnya.

Merebaknya penggunaan Starlink milik perusahaan SpaceX yang dikembangkan oleh Elon Musk sudah menjadi kekuatan sendiri bagi orang asing untuk menancapkan bisnisnya di Indonesia. Perusahaan asing dari Amerika Serikat telah beroperasi di Indonesia sejak 2015. Sekarang sudah berkembang pesat di berbagai daerah dengan layanan internet dengan kecepatan tinggi dan terjangkau di daerah terpencil dan tertinggal. Namun Starlink mungkin tidak cocok untuk digunakan di kota besar karena kecepatan yang bervariasi antara 25 Mbps hingga 220 Mbps, dengan rata-rata sekitar 100 Mbps.

“Masyarakat di daerah terpencil dan tertinggal membutuhkan layanan internet dengan kecepatan tinggi dan terjangkau, tapi pemerintah diam saja. Infrastruktur digital dari pemerintah untuk masyarakat terpencil dan tertinggal mana?” tantang Prof Henri.

Apakah pemerintah mampu menjawab pertanyaan dari pakar hukum komunikasi Unair Surabaya Prof Dr Henri Subiakto?

Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI

Buku kedua karya Nurul Azizah. “Muslimat NU Militan untuk NKRI”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here