Penulis: Dahono Prasetyo
UGM sudah mengawalinya dengan ijazah palsu yang sampai hari ini masih tarik ulur diungkap kebenarannya. UI sudah merasakan efeknya saat nekat meluluskan desertasi S3 palsu. Kini Giliran UIN Alaudin Makasar berkarya dengan produksi uang palsu.
Para-para Akademisi pantas prihatin, tapi itu tidak cukup karena ketika berbicara tentang uang, gelar setinggi apapun jadi sama saja. Dagang.
Dalam selembar ijazah palsu, gelar Doktor palsu hingga uang palsu dipastikan ada uang asli yang dibutuhkan banyak orang. Meskipun menjadi intelektual tidak melulu bicara tentang uang, namun kebutuhan hidup menuntut untuk dilebihkan tidak sekedar dicukupkan.
Kampus sebagai pencetak intelektual kalah oleh kepentingan pribadi yang dilakukan secara berjam’ah. Sementara yang masih di jalan lurus terpaksa menikmati efek sampingan rusaknya susu nila sekubangan belanga.
Revolusi mental yang digaungkan selama 10 menghasilkan generasi pragmatis. Pencetusnya meninggalkan sisa pencitraan yang berubah menjadi residu sosial. Celakanya tidak merasa bersalah pulak.
Tiba-tiba ada nyeletuk: “Mas, sampeyan kritik pemerintah yang dianggap amburadul, memangnya punya solusi? Masih numpang hidup di Republik +62 kok berisik amat?!”
Dalam sebuah peribahasa ada kalimat: Mengapa orang jahat berkembang biak, penyebabnya karena orang-orang baiknya diam saja. Sebagian kita sadar menjadi bagian dari sistem yang buruk. Tidak ada jalan lain kecuali mengungkap borok-borok itu, sebagai penanda bagi generasi selanjutnya.
Bahwa sesuatu yang sudah diawali dengan kepalsuan, cara untuk tidak terungkap dengan menciptakan kepalsuan baru. Dan sebaliknya cara mempertahankan kebenaran adalah menolak dibungkam.
Jika kemudian pedang kekuasaan memaksa memenjarakan, setidaknya bukan sebagai koruptor duit APBN, maling SDA, penembak pelajar, pemerkosa santri, atau agen investasi bodong.
Tapi dipenjara karena melawan Raja yang dzolim.
@Dahono Prasetyo