SintesaNews.com – Kontroversi penolakan menyerahkan Uang Ganti Rugi (UGR) Tol Cisumdawu oleh BTN berbuntut panjang.
Carut marut bermula tatkala BTN menolak mentransaksikan cek tunai yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Sumedang kepada prinsipal.
Berdasarkan surat PN Sumedang 1 juli 2024, UGR diserahkan kepada prinsipal karena telah berkekuatan hukum tetap.
Penolakan dengan alasan ada surat permohonan pemblokiran dari Kejaksaan Negeri Sumedang 6 Juni 2024, dikaitkan dengan perkara Tipikor pihak lain (Dadan, dkk.) yang sejatinya tidak ada hubungan dengan prinsipal.
Sesuai aturan dengan telah diserahkan cek UGR kepada prinsipal, berakhir pula payung hukum penempatan dana konsinyasi di Bank.
Setiap Konsinyasi diawali oleh produk hukum PENETAPAN PN, dan penyerahan UGR juga dengan Penetapan PN pula.
Alhasil dengan telah diserahkan cek tunai kepada prinsipal sudah tidak ada dasar hukum (payung hukum) BTN menyimpan UGR.
Tanpa dasar hukum, sikap BTN menolak membayar UGR adalah cacat hukum, berpotensi menimbulkan kekacauan dalam kegiataan pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional (PSN).
Prinsipal yang belum dibayar UGR setiap waktu, kapan saja dapat datang ke jalan Tol menguasai tanah mereka kembali. Tanpa perlindungan UU 2 tahun 2012, dan Penetapan konsinyasi, mengambil tanah warga adalah ilegal. Kesalahan sepenuhnya mutlak menjadi tanggung jawab BTN.
Menurut Dr. Yanwitra SH. MH. Pakar Kepaniteraan, berpengalaman 40 tahun, desertasi doktor Hukum tentang Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, baru pertama kali terjadi dalam sejarah Republik ini UGR yang telah diserahkan kepada prinsipal dalam bentuk cek tunai, gagal ditransaksi oleh Bank.
“Konsinyasi disimpan dengan produk hukum PN berupa Penetapan, dan diserahkan juga dengan PENETAPAN, sedangkan surat permohonan pemblokiran jaksa kepada BTN, itu surat biasa yang tak memiliki kekuatan hukum mengikat apapun. Kalaupun ingin memblokir atau menyita kejaksaan wajib mendapatkan ijin dari PN setempat, produk hukum nya pun akan berupa Penetapan, Putusan dan Penetapan PN adalah produk hukum yang wajib dipatuhi, bukan surat apapun dari siapapun,” jelas Yanwitra.
Yanwitra menyarankan BTN tidak bersikap ambigu.
“BTN bersurat saja kepada Kejaksaan agar mendapatkan ijin tertulis dari PN setempat, berdasar UUCK apabila dalam 5 hari kerja, tidak ada jawaban Kejaksaan, UGR wajib ditransaksikan, diserahkan kepada prinsipal yang berhak. Lagipula UU pengadaan tanah menjamin BTN tidak dapat diminta pertanggungjawaban, karena yang menerima UGR lah yang bertanggungjawab, pasal 41 (5)”.
BTN atau siapapun juga wajib menghormati hukum di Negara ini, bukankah setiap pejabat diangkat dengan sumpah untuk menjalankan aturan undang undang (hukum) dengan selurus-lurusnya? Mengambil tanah warga masyarakat tanpa membayar UGR berpotensi melanggar HAM, sebagaimana dijamin Konstitusi UUD 1945 pasal 28 H (4).
“Sekarang BTN menyimpan uang tanpa dasar hukum, payung hukumnya sudah berakhir. Ingat, PERMA 3 tahun 2016 mengatur Bank hanyalah tempat penyimpanan sementara saja, menunggu putusan inkrah. Umumnya uang dikonsinyasi dalam rekening pemerintah lainnya (RPL), kebetulan saja BTN Bandung Timur yang dipercayakan dalam kasus Tol Cisumdawu, ditempat lain mungkin saja dana ditempatkan di RPL Bank Pemerintah lainnya”, jelas Yanwitra
Untuk mengikuti penjelasan para ahli lebih lanjut dapat membaca tautan terkait.