Siapa Raja Jawa yang Dimaksud Bahlil?

Foto ilustrasi: AI. Sumber: IG @Ainusantara

Penulis: Erri Subakti

Pertanyaan pada judul di atas tidak harus dijawab oleh siapapun. Baik penulis, atau pembaca bahkan Bahlil sekali pun tidak perlu pura-pura tidak tau siapa “raja Jawa” yang disebut oleh Bahlil, usai dirinya dikukuhkan jadi Ketua Umum Partai Golkar hari ini, 21/08/2024.

Usai resmi menjadi pengganti Airlangga Hartarto, Bahlil meminta para kader tidak bermain-main dengan “Raja Jawa” jika tidak ingin celaka.

-Iklan-

Hal tersebut Bahlil sampaikan dalam Munas ke-11 Golkar di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

“Jadi kita harus lebih paten lagi, soalnya Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh ini ngeri-ngeri sedap barang ini, saya kasih tahu,” ujar Bahlil.

Bahlil lantas mengungkit dampak jika ada pihak yang mencoba main-main dengan si Raja Jawa.

Akan tetapi, Bahlil ogah membukanya di depan umum.

“Sudah waduh ini, dan sudah banyak, sudah lihat kan barang ini kan? Ya tidak perlu saya ungkapkanlah. Enggak perlu,” ucapnya.

Menyebut adanya Raja Jawa  yang dianggap sangat berkuasa layaknya titisan dewa yang tak bisa dilawan, di sebuah negara Republik dalam alam demokrasi modern, merupakan sebuah kemunduran peradaban.

Terlebih jika menilik sejarah para Raja Jawa sejak awal abad pertama hingga pertengahan. Semuanya runtuh dan selalu penuh intrik dan penghianatan di dalamnya. Kita mau mulai dari mana? Akan selalu ada penghianat yang siap menyingkirkan raja berkuasa, bahkan saling menghilangkan nyawa untuk menyingkirkan.

Apabila tradisi dendam antar keturunan raja, dalam perebutan kekuasaan dan saling khianat demi menyingkirkan tahta raja terjadi dalam konteks sistem demokrasi sekarang ini, maka muncul pertanyaan seperti di bawah ini.

Apakah Pilpres 2024 benar-benar telah usai dan presiden terpilih akan jadi dilantik pada 20 Oktober 2024 nanti, dan kekuasaan pun berpindah atau berganti?

Hmmm…, hal yang patut dikhawatirkan melihat manuver-manuver politik yang bisa dikatakan tanpa malu dan vulgar, “sang raja Jawa” yang dimaksud Bahlil tentu tak segitu mudahnya menyerahkan tahta tanpa kendali masih di tangannya.

Tak ada yang sulit jika dalam hitungan waktu yang singkat, pelantikan itu bisa tidak terjadi. Lalu timbul kekacauan. Maka yang berkuasa berhak menerapkan UU Darurat, yang memperpanjang usia kekuasaannya.

Apa yang tidak mungkin….

Rakyat cuma disuguhi tontonan ketoprak “kerajaan Jawa” berbiaya triliunan rupiah yang diperoleh dari pajak rakyat yang terus mencekik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here