Penulis: Nurul Azizah
Doktrin kalau habib itu lebih mulia dari Kiai atau ulama sering kita jumpai di masyarakat atau komunitas pecinta habaib manakala kita ikut pengajian yang mengisi tausiyah habib atau habibah. Tak segan-segan mereka para habib habibah mengaku keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ada yang mengaku cucu Nabi ke-38, kalau salaman dengan habib tersebut cium tangan sampai bolak balik bahkan ada yang mencium kakinya. Hal ini yang membuat kegelisahan ulama-ulama Nusantara diantaranya Kiai Imaduddin Utsman Al Bantani untuk membongkar nasab habib Ba’alawi apakah benar mereka keturunan dari Baginda Nabi Muhamad SAW.
Eh ternyata hasil riset Kiai Imaduddin menyatakan bahwa habib Ba’alawi bukan keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW tetapi keturunan dari Ubaidillah yang sering disebut sebagai anak dari Ahmad bin Isa, ini terkonfirmasi dalam kitab-kitab nasab sezaman dengan mereka.
Tesis Kiai Imaduddin yang di-share ke publik menuai banyak kontroversi berkepanjangan, baik dari masyarakat yang setuju dengan hasil tesisnya Kiai Imad maupun dari para pecinta habaib atau muhibbin.
Para muhibbin ini mencintai habib Ba’alawi sampai rela mencium kaki karena cinta butanya kepada para habaib yang mengaku keturunan dari Nabi Muhammad SAW.
Kontroversi gelar habib terus dan akan terus menjadi kontroversi mana kala ada beberapa oknum habib yang terus berkata kasar, tidak sopan, membentak, arogan dan tidak mencerminkan kepribadian yang baik. Para oknum habib yang mengaku keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW terus bermunculan di media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Messenger, Tik Tok, Instagram dan lain sebagainya.
Mendengar ulah para oknum habib kuping rasanya gatal, apalagi merendahkan sesama jama’ah yang hadir di suatu majelis sebagai kelas kedua setelah habib. Mereka menyebut warga Indonesia terutama warga NU sebagai warga pribumi harus patuh dan nuruti apa yang diucapkan para habib.
Kontroversi masalah habib semakin mencuat ketika diterbitkan hasil penelitian nasab Ba’alawi yang berjudul “Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia” oleh KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, pengasuh dan pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum yang berlokasi di Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Kiai Imad juga menjadi pengurus PWNU Banten dan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI) Banten.
Tentunya polemik nasab yang dibongkar oleh Kiai Imaduddin banyak yang suka, ada yang tidak suka dan ada yang cuek saja. Mereka yang suka ya mendukung apa yang dilakukan oleh Kiai Imaduddin untuk menolak keturunan Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad. Yang mendukung bahwa habib keturunan Ba’alawi ya bersikeras bahwa mereka kaum Ba’alawi memang keturunan Nabi. Yang cuek ya masa bodoh dengan ceramahnya para habib dan cuek dengan kontroversi habib.
Yang pro dengan pemikiran Kiai Imad ya berterima kasih, karena sudah ada yang berani mengungkap kalau habib Ba’alawi itu bukan keturunan Kanjeng Nabi. Hal ini memantapkan yang selama ini ada di pikirannya bahwa habib kok menjadi makhluk Tuhan yang berkelas diantara umat Islam.
Kiai Imad dan masyarakat yang setuju dengan tesisnya, menganggap manusia itu sama derajatnya di hadapan Allah SWT.
Surat Al-Hujurat ayat 13: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.”
Semua manusia setara di sisi Allah SWT, kecuali ketaqwaan. Mengapa Allah SWT menciptakan keberagaman bangsa dari banyak genetika. Ada yang berkulit putih, ada yang coklat dan ada pula yang hitam. Itulah kemajemukan. Allah SWT sengaja menciptakannya demikian rupa karena terdapat hikmah yang bisa diambil bahwa semua manusia ciptaan Allah tetaplah sama di sisi-Nya. Manusia memiliki derajat yang sama di mata Allah, sehingga satu sama lain tidak boleh merasa paling tinggi derajatnya.
Nasab Ba’alawi Itu Terkait dengan Kemanusiaan yaitu Kesetaraan
Untuk itu Kiai Imad membuat penelitian bahwa nasab Ba’alawi itu terkait dengan kemanusiaan yaitu kesetaraan. Tidak mudah bagi Kiai Imaduddin Utsman untuk mempertahankan tesisnya. Banyak yang menghujat dan memfitnah dengan bahasa yang kurang enak didengar.
Kiai Imad simbol grassroot dari masyarakat akar rumput yang selalu dikenang oleh masyarakat luas. Masyarakat itu perasaannya halus, tidak rela kalau Kiai Imad dihujat oleh oknum habib dan para muhibbin. Publik atau masyarakat yang setuju dengan Kiai Imad bagaikan seorang ibu, sedangkan Kiai Imad bagaikan anak dari ibu tersebut. Tentunya seorang ibu tidak rela kalau anaknya (orang yang lemah) itu didzolimi orang yang berkuasa yaitu para oknum pengurus PBNU yang terus memojokkan keberadaan Kiai Imad.
Kiai Imad berjuang untuk kemanusiaan, kesetaraan manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki tingkatan atau kedudukan yang sama.
Karena kesetaraan dan harmoni sosial ini, manusia memiliki kedudukan yang sama sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Jangan ragu dan kuatir Kiai Imad, kami masyarakat akar rumput terutama warga Nahdliyyin akan selalu bersama membela kesetaraan. Dengan demikian kesetaraan menunjuk pada tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau lebih rendah antara satu dengan yang lainnya.
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI, minat hub 0851-0240-8616.