Penulis: La Ode Budi
Indonesia telah mencapai perkembangan demokrasi. Semua Individu yang memiliki integritas, rekam jejak prestasi dan visi misi program, boleh “menjual diri” kepada rakyat.
Tidak ada kekuatan elit atau oligarki boleh menghalangi. Jejak personal bebas diriĺis.
Pribadi yang diterima rakyat: pemimpin yang memahami aspirasi rakyat, bersih (dari korupsi), berprestasi dan sanggup menjadikan aspirasi rakyat jadi kebijakan (program).
Tentu ada kekurangan dan pelanggaran (pilpres), tapi dominan kompetensi para calon yang bertarung.
Paslon kerja keras keliling nusantara “menjual diri”, dan hadir di banyak diskusi kritis.
Itulah “suasana” yang membuka jalan terpilihnya SBY dan Jokowi, dua periode.
Presiden terpilih sangat dirasa berhutang kepada rakyat. Programnya banyak terbedah, dikritisi.
Pilpres 2024 “Agak Lain”. Paslon 01, 03 tidak hanya bertarung dengan 02. Paslon 02 bahkan ajaib lolos dua pelanggaran etis berat (MK, KPU).
Paslon 02 tidak banyak mengunjungi daerah, dan tidak menonjol dalam program dan debat. Cawapres 02 “hilang” dari diskusi-diskusi kritis.
Debat, 02 banyak “salah bicara”, emosi atau tidak sanggup menjawab (13 orang korban pelanggaran HAM hilang). Lihat survei litbang Kompas (siapa pemenang debat).
Cawapres 02 bahkan tampil bak cerdas cermat dan aksi kekanakan “tidak melihat jawaban” (di hadapan lawan mumpuni). Semua persoalan bangsa selesai oleh satu tema: hilirisasi.
Pra pencalonan, 02 berulang menonjolkan makan siang gratis. “Kami sudah hitung anggarannya ada, Rp 400 triliun”.
Nyatanya, tidak jelas pelaksanaannya, tidak jelas anggarannya. Terakhir, mau diambil dari BOS (guru-guru menolak). Jika BOS ditolak, berarti hanya satu jalannya : menambah hutang.
Dukungan oligarki ekonomi (Boy Thohir umumkan terbuka), melengkapi “kerja bersama” seluruh kekuatan negara untuk 02 : hakim MK, merapel bansos, aparat penegak hukum, KPU/Bawaslu. Bahkan Presiden sendiri turun “berkantor” di Jawa Tengah (lumbung suara 03).
Mirip cara memenangkan Gibran jadi Walikota. Semua kekuatan dikumpul, disatukan (agar lawannya cukup “kotak kosong/independen jadi-jadian”). Lawan sudah pasti kalah (pemilu pura pura).
Buktinya, tarung bebas “money politics” tidak ada respon pencegahan. Presiden (pemilik semua intelijen) tidak ada bersuara (akibat resiko pemilu “tarung bebas” ini bagi bangsa). “Lapor bawaslu, kalau ada bukti”.
2024: siapa kuat, siapa punya uang, punya kuasa (asal tidak terekam video), aman. Biar ada rekaman suara (APH terlibat), aman (dari pemeriksaan). Guna Bawaslu ada?
Suara dari para Guru Besar yang massif di perguruan tinggi, dianggap suara biasa. Padahal mereka inilah “intisari” masyarakat sipil cerdas, tak berpihak.
Kesimpulan, demi keselamatan dan Indonesia Emas, 2024 diperlukan pelurusan demokrasi Indonesia.
Dan kembalikan “hanya rakyat berdaulat dalam pemilu” itu, tinggal satu jalan tersisa: Hak Angket DPR.
Partai-partai haruslah mendahulukan kebutuhan bangsa ini. Betul?!
#PemilihKritis_Bersuara
#KoalisiBersama_Rakyat
#KIBAR_Indonesia.
Baca juga: