Memahami Kemenangan Joko Widodo secara Kritis

Penulis: Dr. Amin Mudzakkir
(Peneliti BRIN)

Pihak yang menang dalam Pilpres 2024 bukan Prabowo, melainkan Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, apalagi Gibran, bukan siapa-siapa tanpa Jokowi. Akan tetapi, Jokowi yang dimaksud bukan sekadar seseorang bernama Jokowi, melainkan sebuah lembaga negara yang menghadiri semuanya dan mencakup segalanya. Singkat kata, tidak ada apa-apa di luar negara.

-Iklan-

Secara konseptual, definisi negara di era Jokowi mirip apa yang digambarkan oleh James Scott dalam Seeing Like a State (1998). Negara modern menggantikan posisi Tuhan di Abad Pertengahan. Kalau Tuhan menciptakan malaikat untuk mencatat kebaikan dan kejahatan umat manusia, negara menerbitkan angka-angka statistika untuk mengontrol gerak-gerik warga negara.

Saya kira pandemi covid-19 memberikan berkah luar biasa kepada Jokowi. Karena adanya covid itulah Jokowi mampu mengubah negara yang tampak loyo di era sebelumnya menjadi berkuasa penuh terhadap keselamatan warga. Sejak 2020 negara adalah satu-satunya juru selamat yang ditunggu-tunggu kehadirannya di saat masyarakat dan pasar menggelapar tanpa daya. Covid-19 adalah agensi bagi “ontological turn” kekuasaan negara. Silakan hitung berapa ratus triliun uang publik yang direalokasikan ketika itu sedemikian rupa sehingga Jokowi merencanakan untuk maju tiga periode dan lalu secara diam-diam menyiapkan anaknya jika rencana tersebut buntu.

Karena momen “ontological turn” itulah negara di era akhir pemerintahan Jokowi menjadi amat sangat berdaya. Inilah kunci kemenangan Probowo-Gibran. Tanpa kendali atas uang publik yang tak berseri itu, Prabowo dan apalagi Gibran bukan siapa-siapa.

Tanpa kendali atas uang publik yang tak berseri itu pula, Jokowi sejatinya bukan siapa-siapa.

Dengan demikian, jika ada pandangan bahwa Pilpres 2024 adalah pertarungan antara “perubahan” dan “keberlanjutan”, maka pandangan itu jelas amat sangat keliru secara normatif dan empiris. Secara normatif, perubahan yang mengacu pada demokrasi dan keberlanjutan yang merujuk pada pembangunan bukan dua entitas yang bisa dipertentangkan begitu saja. Negara modern seharusnya merengkuh keduanya.

Demokrasi dan pembangunan mestinya bisa berjalan seiring sejalan. Sementara itu, secara empiris kita tidak mempunyai data bahwa para pemilih lebih menginginkan pembangunan daripada demokrasi.

Ketika rakyat memilih Prabowo bukan karena mereka lebih memilih pembangunan daripada demokrasi, melainkan karena mereka khawatir dan bahkan takut tidak diberikan bansos lagi!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here