SintesaNews.com – Persoalan carut-marutnya kondisi demokrasi di Indonesia saat ini memantik kegusaran berbagai elemen masyarakat untuk menunjukkan keprihatinan mereka. Dari mulai para akademisi, pihak perguruan tinggi, para rektor, aktivis, mahasiswa, kaum perempuan, seniman dan budayawan, dan lain-lain.
Salah satu elemen yang juga prihatin dan gusar akan kondisi politik sekarang ini adalah Masyarakat Antropologi Indonesia yang terdiri dari AAI (Asosiasi Antropologi Indonesia), FKAI (Forum Kajian Antropologi Indonesia), ADJASI (Asosiasi Departemen dan Jurusan Antropologi Seluruh Indonesia), JKAI (Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia).
Dari rumah proklamator Bung Hatta, Masyarakat Antropologi Indonesia menyuarakan keprihatinannya akan kondisi negeri ini yang dinilai tengah menghadapi masa darurat kebangsaan dan ke-Indonesia-an.
Seruan Keprihatinan Masyarakat Antropologi Indonesia
1. Kami prihatin menyaksikan lunturnya etika, moral, nilai kejujuran dan integritas berbangsa dan bernegara yang seyogyanya dijunjung tinggi
2. Kami prihatin melihat munculnya praktik yang menormalkan politik kekerabatan dengan memanipulasi peraturan perundangan yang merusak nilai-nilai dasar demokrasi
3. Kami prihatin akan banyaknya elit politik yang mereduksi demokrasi, hanya sebatas strategi berpolitik yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara
4. Kami prihatin atas perilaku politik transaksional uang dalam meraih kekuasaan
5. Kami prihatin akan terjadinya manipulasi aturan-aturan hukum sebatas untuk memperoleh kekuasaan
6. Kami prihatin dan gusar atas terjadinya berbagai tindakan yang melegitimasi penyalahgunaan sumber daya negara, termasuk bantuan sosial, untuk mendulang suara dalam pemilihan umum
7. Kami prihatin dan gusar atas terjadinya pelemahan secara sistematis lembaga-lembaga negara demi kepentingan politik tertentu
8. Kami prihatin akan adanya usaha-usaha melegitimasi politik uang, yang dipraktikkan secara vulgar tanpa malu-malu lagi
9. Kami prihatin atas adanya kenyataan bahwa korupsi malah dijadikan alat dan strategi untuk meraih kekuasaan
10. Kami prihatin menyaksikan hilangnya budaya malu yang dipertontonkan oleh sebagian elit politik kita saat ini dan meluasnya budaya arogansi dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan demokrasi.
Bukan tanpa alasan mereka menyuarakan keprihatinan dan kegusarannya dari rumah proklamator, Bung Hatta.
Masyarakat Antropologi Indonesia menyayangkan, semua pelajaran dan keteladanan berkenaan dengan nilai-nilai yang memuliakan sifat kejujuran, keadilan, sportif, kesantunan, dan cara berpolitik yang bermartabat, yang telah diberikan Bung Hatta dan para tokoh pendiri bangsa ini, kini sepertinya telah sirna.
Meutia Hatta menjelaskan kepada SintesaNews.com bahwa para antropolog Indonesia berkumpul untuk menyatakan keprihatinan atas dinamika sosial politik yang terjadi, yang telah mengakibatkan darurat ke-Indonesia-an.
“Masyarakat Antropologi Indonesia berhimpun di rumah Bung Hatta yang merupakan sosok pemimpin-negarawan pemberi tauladan, berpolitik dengan etika, bermartabat dan rendah hati. Cara berpolitik yang tidak melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang dapat digunakan secara semena-mena,” jelasnya.
Reportase: Erri Subakti