Penulis: Erri Subakti
Di alam demokrasi sekarang ini Indonesia telah meninggalkan jauh masa-masa kepemimpinan penuh kontrol dan serba mencekam di bawah kekuasaan otoriter Soeharto dengan Orde Barunya.
Reformasi –meski dengan berbagai catatan kegagalannya– biar bagaimanapun telah membawa Indoneia jauuuh menjadi negara yang lebih demokratis dari 25 tahunan yang lalu.
Capres dan cawapres telah silih berganti. Pilpres dipilih langsung one man one vote. Dan berdirinya berbagai Komisi khusus yang menangani kasus-kasus besar yang memerlukan penanganan dan perhatian khusus.
Dengan berbagai kelemahannya, memang Indonesia masih jauh dari sempurna dilihat dari indeks demokrasi. Namun bukan berarti kita mundur saja kembali ke masa otoritarian, dimana kontrol penuh berada di satu orang terhadap eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Bersyukur kecacatan etik berat pada pelanggaran keputusan Hakim Mahkamah Konstitusi segera ditangani oleh Majelis Kehormatan MK yang 3 bulan lalu segera menyelesaikannya. Dan terbukti Ketua MK Anwar Usman melanggar kode etik berat dalam keputusan mengenai cawapres.
Sebelum segalanya terlambat dan negeri ini kembali mundur ke belakang seperti mas orde baru, otoriter, kontrol eksekutif legislatif dan yudikatif (plus panitia pemilu) di tangan 1 orang, yang bisa melahirkan pemimpin otoriter dan tak menghargai demokrasi dan HAM, penentu dari masa depan Indonesia hanya ada dalam bilik suara nanti 14 Februari 2024.
Di dalam bilik suara itulah kita menentukan, jangan sampai menyesali kemunduran Indonesia nantinya. Kita telah jauh melangkah dari alam otoritarian orde baru, jangan berikan kepada capres bersifat otoriter.
Tentukanlah hak suara kita untuk capres yang menghargai HAM dan demokrasi.
Dari ketiga capres tersebut ada rekam jejak bagaimana ketiganya menghormati HAM dan demokrasi atau tidak.
Anies Baswedan, terkenal dengan Gubernur hasil pilkada yang “demokratis” dengan tanda petik, ia dipilih langsung oleh rakyat DKI yang saat itu terbelah tajam atas isu politik identitas. Atau biasa disebut saat itu dengan memainkan “ayat dan mayat.”
Meski menjadi catatan buruk demokrasi Pilkada, namun tetap terpilihnya Anies melalui cara-cara demokrasi dan pihak yang kalah pun tidak menuntut kecurangan atau berbuat kisruh. Yang kalah menerima kekalahannya. Di bawah kepemimpinan Anies, kelompok yang kontra terus bisa bersuara mengkritik kinerja Anies yang babak belur di DKI.
Prabowo, berlatar belakang kelam dan penuh darah di masa orde baru menjadi salah satu dalang dari penculikan dan penyiksaan para aktivis. Puluhan tahun mencoba menjadi presiden dengan membangun partai yang dikelola sangat otoriter. Tanpa pernah ada kongres pemilihan pergantian ketua umumnya.
Demokrasi di bawah Prabowo? Bentuknya hanya tempeleng dan lempar handphone.
Ganjar Pranowo. Di bawah kepemimpinannya demontrasi buruh atau kasus yang lebih ramai yaitu Wadas, ia handle dengan cara langsung bertemu peserta aksi demonstrasi buruh dan rakyat. Suara-suara rakyat kecil dibiarkan mengungkapkan kekecewaannya. Semua itu ditangani Ganjar dengan berembuk mencari solusi bersama agar bisa ada jalan keluar.
Pada 14 Februarilah di dalam bilik suara, tanpa tekanan dan paksaan atau bayaran siapapun, kita tiap-tiap manusia Indonesia yang telah memiliki hak suara, menentukan masa depan negeri ini dengan memilih pemimpin yang demokratis di alam demokrasi.
Vox populi vox Dei. Suara rakyat suara Tuhan.
(Bukan untuk satu keluarga.)