Palu Godam TIM oleh Anies, Kejahatan Budaya dan Penghianatan Sejarah

SintesaNews.com – Forum Seniman Peduli TIM, hari ini Senin, 17/2020, sedianya diterima oleh Komisi X DPR-RI, Dede Yusuf, dkk. yang membidangi urusan kebudayaan. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara para seniman dengan para wakil rakyat itu dijadwalkan berlangsung mulai pukul 11.00 s.d. 13.00 WIB.

Delegasi seniman dari berbagai daerah dan elemen seni yang hadir di gedung rakyat sekiranya diikuti oleh ratusan seniman Jabodetabek. Mereka dipimpin oleh budayawan Radhar Panca Dahana, dan Noorca M. Massardi. Dikabarkan, Dolorosa Sinaga, seniman patung yang juga pengajar di Institut Kesenian Jakarta akan hadir, bersama dengan Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rayni Massardi, Irma Hutabarat, dan beberapa tokoh lainnya, yang sangat mencemaskan nasib TIM.

Mereka juga telah mempersiapkan aksi seni, ‘happening art’, tentang genosida kebudayaan yang menghantam TIM dan mempalu-godam banyak ruang-ruang ekspresi seniman. Aksi seni ‘silent action’ (pernyataan senyap) ini menyindir Pemprov. DKI Jakarta yang telah menghantarkan alat-alat berat dengan ‘diam-diam’ (tanpa permisi pada para seniman) yang notabene adalah pemilik saham terbesar kawasan TIM, sebagaimana diamanahkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, yang sangat dihormati oleh para seniman itu.Sudah tiga bulan lebih, Forum Seniman Peduli TIM yang mengusung tagar #saveTIM itu tanpa lelah melakukan berbagai aksi menolak Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019, yang memberi kewenangan kepada BUMD Pemprov. DKI Jakarta, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola TIM, kelak ketika usai kegiatan pembongkaran dan pembangunan, yang tengah berlangsung sekarang ini.

-Iklan-

Disebutkan, Jakpro yang tugas pokoknya merawat gedung-gedung DKI itu, nantinya diserahi tugas untuk mengkomersialkan seluruh ruang dan bangunan, menarik penghasilan dari penyewaan 200 kamar hotel, dari area parkir bawah tanah seluas lapangan bola, serta dari media iklan elektronik luar ruang yang akan dipasang di tempat-tempat strategis di kawasan TIM.

Kegiatan kapitalistik itu, menurut Pergub yang dibuat tanpa melibatkan pendapat Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, akan berlangsung selama 28 tahun (dan ada kemungkinan kelak akan diperpanjang sampai 100 tahun).

Jumat lalu, 14/2, pasca peruntuhan gedung Graha Bhakti Budaya (GBB) dan bekas ruang pameran Galeri Cipta I (yang kemudian, di zaman Orba, dikuasai oleh bioskop XXI), Radhar Panca Dahana bersama Noorca M. Massardi serta puluhan seniman muda, memaksakan diri untuk menggelar ritus “Pertunjukan Terakhir”, sebagai penghormatan terakhir bagi tempat yang mengandung jutaan kenangan, tepuk tangan, kesedihan dan kebahagiaan, dan airmata itu.

Mereka menyampaikan kesedihan, kekecewaan sekaligus kemarahan dengan membacakan sejumlah tuntutan keras untuk mencabut Peraturan Gubernur yang aneh itu, serta menuntut dilakukannya moratorium atas kegiatan ‘revitalisasi’ sepihak yang dilancarkan dengan berdarah dingin oleh Pemprov. DKI Jakarta. Seperti ritual mengasah kapak perang, mereka menyuarakan protes dengan mengibarkan bendera merah putih, memainkan musik thema film The Godfather “Live in Italy” (yang mengingatkan pada kuasa mafioso Sisilia) lewat akordion dengan suara menyayat hati, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil menangis, dengan emosi dakhsyat yang menyesaki hati, dada, dan syaraf kepala, di atas gunungan reruntuhan puing Graha Bhakti Budaya dan mesin-mesin penghancur (agaknya, itulah ekspresi seniman yang sepertinya belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban umat manusia dan bangsa beradab di dunia).

Mereka menyesali penghancuran bangunan yang seharusnya sudah bisa diusulkan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya, oleh karena peran dan fungsinya selama puluhan tahun sebagai panggung ekspresi seniman dan melahirkan banyak seniman handal dari sana. Ada sejarah dan sukma kebudayaan yang seharusnya dipertahankan sebagai penanda, sebagai monumen yang memberi kesaksian bagi generasi yang akan datang.

Mereka juga dengan bijak telah menyebarkan gestur dengan menutup mata kiri, sebagai bentuk protes atas kebijakan yang ‘memandang sebelah mata’ terhadap keberadaan para seniman, tidak hanya terhadap mereka yang ada di ibukota Jakarta, tapi juga ribuan seniman di berbagai daerah yang menganggap bahwa TIM juga adalah milik mereka.

Aksi silent action yang dilakukan Forum Seniman Peduli TIM sudah berlangsung sembilan kali di trotoar TIM di jalan Cikini Raya, dengan diikuti oleh para seniman dari Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Padang, Bali, dan berbagai kota. Demikian pula, pada acara Diskusi Publik bertema genosida kebudayaan dan pemberangusan ruang kreatif, yang telah berlangsung dua kali, dengan dihadiri oleh ratusan seniman yang sepakat menolak Pergub 63 Tahun 2019 yang ganjil itu.

Sejauh ini Gubernur DKI Jakarta bergeming dengan kebijakannya.

Butet Kartaredjasa menuliskan gugatannya atas masalah ini lewat tulisan yang berjudul: PENGKHIANATAN MURNI, yang tersebar di media sosial.

Penghianatan Murni

Lebih setengah abad lalu para seniman-budayawan, cendekiawan dan pekerja seni meluruskan jalan pikir Ali Sadikin, bahwa pembangunan kebudayaan itu sifatnya investatif. Bukan cari keuntungan. Tidak profit oriented. Hasilnya dipetik kelak: yaitu masyarakat yang terdidik, manusia yang senantiasa mendapat asupan gizi berupa nilai-nilai kemanusiaan. Manusia-manusia beradab, manusia-manusia budaya. Ali Sadikin percaya itu, maka TIM bergerak dan digerakkan oleh APBD. Yang mengelola adalah Yayasan dan institusi-institusi sosial dan pendidikan: AJ, DKJ, PKJ-TIM dan dillengkapi LPKJ (kini IKJ). Sejarah kemudian mencatat prestasi-prestasi TIM, dan Indonesia mengunduh hasilnya yang luar biasa.

Maka, jika hari ini Gubernur DKI mengganti payung utama TIM menjadi insititusi bisnis bernama JAKPRO, yang tugasnya mencari laba se-banyak-banyaknya, – dan karena itulah tega menghancurkan TIM tanpa berembug dengan para pemangku kepentingan — maka inilah PENGKHIANATAN MURNI kepada sejarah, kepada Ali Sadikin, kepada para leluhur di bidang kebudayaan dan terutama kepada masyarakat budaya yang sampai hari ini rame-rame menginvestasikan hidupnya di TIM.

Maka, jika hari ini politik dan birokrasi memble membiarkan kejahatan terhadap kebudayaan me-nari-nari di depan kita, saya menghasut kalian: “Jangan takut melawan. Teruskan, teruskan. Kita sedang berjuang menegakkan kebenaran.

Hanya ada satu Kata “LAWAN!” terhadap komersialisasi TIM yang berlebihan dari Gabener. 👊🏽✊🏽

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here