Penulis: La Ode Ronald Firman
Ada 2 (dua) tontonan yang menarik tapi sangat menyedihkan bagi seluruh bangsa Indonesia, keduanya tentang Budi Pekerti
Yang pertama, film Budi Pekerti yang masih tayang di berbagai bioskop, yang diperankan Prilly Latuconsina, figur publik yang followersnya terbanyak ketiga setelah Raffi-Nagita dan Jokowi.
Yang kedua, ‘reality show’ di Mahkamah Konstusi, tentang hilangnya budi pekerti , padahal sejatinya konstitusi itu adalah fondasi budi pekerti suatu bangsa dan negara.
Tanpa budi pekerti, manusia hanyalah seekor Hyena, tanpa budi pekerti sebuah negara dan bangsa hanyalah kelompok gangster.
Kedua tontonan ini merefleksikan kehidupan sosial, politik dan hukum yang saat ini sedang trending dalam perilaku penyelenggara negara, politisi dan penggiat media sosial.
Seolah menyaksikan serial reality show Korea berjudul The Devil’s Plan, yang kita alami saat ini telah memporak porandakan logika, nalar, etika serta tentu saja Budi Pekerti dan Rule of law di negara kita.
Budi pekerti ternyata bukan hanya terkait dengan sikap perilaku atau ucapan explisit, seperti misalnya mengantri, mengumpat, memaki, melainkan lebih esensial lagi terkait dengan kejujuran, ketulusan, kewajaran dan tentu saja pengendalian diri.
Sejak hukum positif di sebuah negara masih berbentuk norma tak tertulis, perilaku korupsi (merusak tatanan), kolusi (kongkalikong) dan nepotisme (subyektifitas) dalam penyelenggaraan negara adalah hal yang tercela.
Itu sebabnya, ketika negara dan pemerintahan RI mengalami kontraksi kronis di tahun 1999, melalui reformasi saat itu, ketetapan MPR, sebagai representasi dan produk pemegang kekuasaan tertinggi negara menegaskan KKN sebagai hal yang sangat tercela dan perlu diejawantahkan dalam berbagai ketentuan perundangan di segala sektor dan lini.
Artinya, kesepakatan awal reformasi adalah menanggalkan, memberantas dan mencegah terjadinya KKN dalam berbagai sendi kehidupan pemerintahan, berbangsa dan bernegara.
Narasi yang sangat kuat ketika itu adalah : Menegakkan Supremasi Hukum demi terwujudnya Rule Of Law di negeri ini.
Lahirlah KPK, MK, KY dan berbagai kelembagaan lainnya merupakan ujud komitmen bersama untuk menopang tiang-tiang hukum yang suprematif.
Sayangnya, karena Mahkamah Konstitusi diberi baju besi tahan api, maka sifat putusannya yang final dan mengikat, telah diamanfaatkan seluas-luasnya demi kepentingan Akil Mochtar, Patrialis Akbar dan terakhir ini Anwar Usman.
Sekorup apapun Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, semua putusan yang ditandatangani mereka telah berlaku dan mengikat, bahkan telah melahirkan pejabat daerah korup yang juga telah mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat.
Istilah orang Sunda, sudah ‘pabaliiut’, muter-muter, awut-awutan.
Kendati kesalahan Anwar Usman (mungkin) bukan menerima suap, tapi hakikat perbuatannya sama persis dengan kedua hakim konstitusi seniornya itu, karena KKN itu kepanjangan dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Belum ada yang tau apa alasan Anwar Usman membuat putusan yang tidak beretika itu, apakah karena kolusi atau karena nepotis?
Yang jelas dan pasti sudah dilihat, dirasakan dan dialami masyarakat luas adalah hedonisme yang diakibatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi belakangan ini.
Narasi ketidak-pedulian dan kesombongan – setelah berhasil menabrak segala rambu etika dipertunjukkan dengan sangat gamblang melalui stempel ‘politik gembira’.
Mengumbar kegembiraan secara naratif dan visual, dengan sengaja dan terus menerus, sambil menyalahkan pihak lain yang dianggap mencela atau merendahkan, jelas mempertontonkan hilangnya budi pekerti.
Pertunjukan “politik gembira” ini sama absurdnya dengan hinaan verbal seorang figur publik yang bangga memaki kepala negara dengan pilihan kata yang tidak sopan.
Perilaku para politisi tua dan muda yang bergembira ria diatas kekecewaan rakyat, setelah berhasil menyalah-gunakan Mahkamah Konstitusi ini bukan hanya sekedar sebuah “Pelecehan Politik”, karena dilakukan melalui perbuatan atau manuver politik, melainkan juga pelecehan budi pekerti.
Ibarat menyaksikan parodi, anak-anak nakal seorang kepala desa (pak lurah) yang naik ke atas genteng di sebuah rumah warga untuk mencuri mangga.
Setelah berhasil mencuri mangga dan memecahkan genteng, mereka lari sambil tertawa-tawa dikejar warga desa.
Warga berhasil menyudutkan mereka, yang terkepung di kantor polisi setempat.
Tiba-tiba kepala polisi keluar, diikuti anak-anak nakal di belakangnya, dan pak polisi lalu membubarkan massa dengan alasan “mereka masih anak-anak”.
Warga berangsur bubar diiringi tawa dan teriakan “ape lu! ape lu!” serta juluran lidah dan tarian jari-jari di telinga anak-anak nakal tersebut.
Bahkan ada yang mengacungkan jari tengah yang ‘tegak lurus’, dan yang lain berbalik badan, buka celana menunjukkan bokongnya, kepada warga yang sedang bubar.
Karena putus asa menghadapi pak polisi, warga mengadu ke pak lurah, diterima dengan ramah oleh pak lurah yang sambil tertawa menanggapi “hehehe namanya juga anak-anak, ya sudah nanti tak bilangi kalau mau ambil mangga jangan sampai memecahkan genteng”.
Gaes, ..
Sesungguhnya hidup ini hanya sekedar mengharapkan dan mengusahakan keseimbangan setiap saat, sedikit saja tidak seimbang bisa jatuh, terjeduk, terpleset, tertangkap dan lain-lain.
Kita lihat saja bagaimana nasib “pencuri mangga” yang naik ke puncak karena ditolong pamannya, apakah akan panjang umur dan bahagia ditengah kekecewaan dan kemarahan orang banyak?
Apalagi dengan kecuekan, kebanggaan, kegembiraan, pesta pora serta kejumawaan yang dipertontonkan adik kakak pencuri mangga, partai baru nya dan seluruh koalisi atas keberhasilan mencurangi dan melubangi konstitusi melalui paman brewok yang tidak bermoral etika.
Rakyat yang sehat akal dan jiwanya pasti melihat keanehan, ketidak-jujuran, ketidak-adilan dan ketidak-seimbangan ini : apabila terlalu muda bisa seenaknya ditambahkan ‘pernah/sedang menjabat kepala daerah’, tapi mengapa yang terlalu tua tidak ditambahi klausul yang sama, ‘pernah/sedang menjabat kepala daerah’ juga???
Semua orang tau bahwa persyaratan menjadi capres dan cawapres yang disepakati DPR dan pemerintah dalam Undang-Undang Pemlu yang lama maupun yang baru tidak mengandung unsur pelanggaran konstitusi, sehingga sejatinya Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengubah atau menambah – nambahkan norma baru dalam sebuah Undang-undang yang sudah sesuai dengan konstitusi.
Nyatanya, melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi telah menjadikan konstitusi, UUDN 1945, sebagai rumah prostitusi, yang mengkolusikan syahwat dan mengkonspirasikan kekuasaan, sehingga pada akhirnya menghasilkan kerusakan (korupsi) di muka bumi, suatu hal yang paling dilaknati Tuhan…
Masihkah ada budi pekerti ketika martabat konstitusi saja dikorupsi??
La Ode Ronald Firman