Penulis: Roger P. Silalahi
Pagi ini baca berita, bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi membentuk “Tim Khusus” guna menangani kasus kebakaran Museum Nasional, atau yang lebih dikenal dengan Museum Gajah. Sebuah langkah cepat tanggap yang patut diacungi jempol. Kurang dari 24 jam sudah keluar pernyataan dan langkah nyata untuk menindaklanjuti kebakaran pada Sabtu malam sekitar pukul 20:00 wib.
Nadiem memprioritaskan penyelamatan artefak yang tersimpan di sana, meski belum bisa masuk ke dalam karena belum ada pernyataan “AMAN” dari Tim Pemadam Kebakaran. Nadiem menekankan pentingnya mengamankan artefak yang ada dan struktur bangunan museum Nasional tersebut. Nadiem menegaskan bahwa; “Yang paling penting adalah keamanan.”
Saya diam sebentar lalu menjadi semakin mengerti, ternyata “AMAN” adalah kata kunci bagi Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi tersebut.
Tidak heran ketika dalam berbagai kasus yang bukan “Headline News” sifatnya, Nadiem cenderung diam dan tidak bergerak. Jangankan bergerak, bersuara pun tidak. Semua dilempar ke Dirjen Dirjen, Inspektorat, atau bahkan tidak diurus sama sekali. Jika bukan “Headline News”, dan/atau “Tidak Aman”, maka ‘saktah’, alias diam dan tak bersuara adalah jalan yang dipilihnya.
Kesadaran akan pentingnya “Personal Branding” yang sesuai dengan ‘passion’ utama untuk memperluas jaringan dan mencari keuntungan di masa depan yang mungkin mendasari hal ini. Nadiem paham betul nilai benda bersejarah itu tinggi, maka harus diamankan. Sayangnya nilai tinggi yang dilihatnya adalah nilai ekstrinsik dari benda-benda itu, bukan nilai intrinsiknya.
Mengapa saya katakan demikian…?
Ada banyak sekali kasus di dunia pendidikan Indonesia yang terjadi selama Nadiem menjadi Menteri, yang diabaikan, tidak digubris, bahkan kasus yang sempat viral pun jika “Tidak Aman” akan “diselesaikan” sesenyap mungkin. Lucunya, kebanyakan kasus di dunia pendidikan ini bersinggungan langsung dengan sejarah, tapi memang “Tidak Aman” untuk Nadiem.
Ada kasus pelecehan agama di buku PPKN kelas IX, banyak kasus pemaksaan hijab di sekolah negeri, banyak kasus perundungan akibat pemaksaan hijab di sekolah negeri, bahkan sampai membuka pintu pungli terkait penyediaan seragam sekolah. Sebenarnya kasus-kasus ini secara langsung menunjukkan usaha menghapus sejarah bangsa, dimana negara ini didirikan dengan dasar Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, oleh segenap bangsa Indonesia yang berbagai suku, ras, dan agama.
Seminim itukah data yang ada pada Nadiem sehingga tidak mengetahui terjadinya kasus pemaksaan hijab di sekolah negeri? Serendah itukah kemampuan analisa Nadiem sehingga tidak mampu melihat koneksitas antara seragam sekolah negeri dengan pelemahan pendidikan keberagaman, penghancuran pendidikan sebagai anak dari Negara Yang Merdeka? Senaif itukah Nadiem hingga tidak mampu melihat usaha menggerus keberagaman melalui pemaksaan hijab di sekolah negeri?
Kurang pentingkah sejarah pendirian bangsa yang dibangun secara bersama oleh semua orang yang berteriak “Bertumpah Darah Satu, Berbangsa Satu, dan Berbahasa Satu, Indonesia itu bagi Nadiem? Kurang pentingkah pembuktian yang diberikan sejarah akan pemberontakan DI/TII, penyerangan Kosekta 8606 Pasirkaliki Bandung yang diikuti pembajakan DC-9 Woyla dengan tuntutan pembebasan 80 orang napi kasus terorisme?
Masih kurang jelaskah bagi Nadiem jumlah korban tragedi Bom Bali 1 dan 2, Bom Gereja, atau berbagai serangan bom bunuh diri yang terjadi di berbagai kota di Indonesia? Tidak pahamkah Nadiem akan perkembangan radikalisme di Indonesia yang dilakukan mulai dari PAUD dengan berbagai yel “Islam Yes Kafir No” atau mungkinkah Nadiem dapat mengatakan bahwa teriakan “Bunuh Ahok” yang diteriakan anak-anak bukan hasil dari perkembangan radikalisme melalui dunia pendidikan?
Pasti paham, tapi “Tidak Aman” tentunya…!
Peduli sejarah, jangan setengah-setengah, melakukan apapun, jangan setengah-setengah, jangan tebang pilih. Jangan hanya peduli dan mementingkan apa yang menjadi “Headline News” serta baik untuk “Personal Branding” saja, tapi lakukan langkah yang harus dilakukan dengan segenap kemampuan, segenap kekuatan, dan segenap kuasa, untuk bangsa dan negara sebagaimana amanat yang ada pada pundak setiap pejabat pemerintahan.
Tetap harus diakui, pembentukan “Tim Khusus” untuk menindaklanjuti terbakarnya Museum Nasional adalah hal yang baik. Tapi sayang, kepedulian yang sama tidak ditunjukkan dalam pemberantasan usaha untuk menghilangkan jati diri bangsa melalui penyebaran pemahaman yang salah, perusakan nilai kebangsaan melalui penyimpangan di berbagai lini pada dunia pendidikan…
Kalau saja Nadiem itu teman saya, pasti saya akan katakan; “Bro, lu hebat, tajir, punya power, tapi lu pengecut…!”
-Roger Paulus Silalahi-