Oleh: Granito Ibrahim
SintesaNews.com – Makan roti bukan budaya kita, itu peninggalan kolonial, toh kita embat juga. Hem, jeans, sneakers dan HP juga bukan warisan leluhur, tapi kita suka.
Medsos juga demikian, masyarakat kita sebenarnya lebih suka ketemuan, kumpul-kumpul, nongkrong, sambil ngobrolin apa pun. Namun mau apalagi, kuota abis, kita sering panik: nggak bisa WA, nggak bisa facebook-an, Instagram mampet. Rasain! Hahaha…
Maka, apa yang dimaksud dengan budaya atau lebih tepatnya: kebudayaan bangsa Indonesia?
Apakah harus bersikeras dengan masa lalu? Bukankah menyesuaikan dan memanfaatkan pengaruh –meski dari luar, kalau memang bermanfaat, bisa saja kita akomodir, kan?
Memang, gandum, kentang, bukan asli Nusantara seperti juga padi dan kopi. Namun tanaman tersebut bisa tumbuh subur di negara kita.
Tanah Indonesia memungkinkan semuanya tumbuh dan berkembang. Tanah yang fleksibel dan penuh berkah.
Mungkin banyak di antara kita bukan ABG lagi, maka perayaan Valentine menjadi sesuatu yang janggal atau menjadi banal, sebab kita pernah melaluinya. Hahaha…
Dan kalau benar Valentine intinya adalah merayakan kasih sayang, apa salahnya? Bertukar coklat, saling memberi bunga, mengirim kartu kepada orang yang kita sayangi, sesungguhnya asyik-asyik saja. Daripada saling lempar kursi, saling menghujat karena beda kepercayaan dan mempertahankan korupsi dan ambisi berkuasa atas nama rakyat.
Kasur tua memang lebih sedap untuk malas-malasan, tapi tentu jangan kelamaan dipertahankan. Kalau memang sudah waktunya, ada baiknya diganti saja yang lebih baik efeknya untuk tulang belakang kita.
Nito 14/02/20