Penulis: Roger Paulus Silalahi
Membaca berita di “bintangempat.com”, ternyata pada tanggal 23 Agustus 2023 sekitar jam 12:00, seorang Guru Bahasa Inggris yang sekaligus berposisi sebagai Pembina Pramuka menggunduli lebih dari 14 orang siswi kelas 9 SMP Negeri 1 Sukodadi, Lamongan. Hal ini dilakukan karena siswi tidak mengenakan ‘ciput’ atau dasaran/dalaman jilbab. Tindakan ini diprotes keras oleh Wali beberapa siswi, dan menuntut agar yang bersangkutan “dipecat secara tidak hormat”.
Siswi kelas 9 a, b, c, d, e, dan f yang semuanya berjilbab (apakah diwajibkan?) tapi tidak mengenakan ‘ciput’ dibuka jilbabnya dan dicukur tandas rambut bagian depannya menggunakan alat cukur elektrik yang sudah disiapkan. Siswi hanya bisa diam, tidak mampu melawan, tidak mampu melindungi diri, dan menangis. Sekali lagi, anak menjadi korban dari guru yang salah dalam mengejawantahkan arti kata Pendidikan.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lamongan bersama Polres Lamongan kabarnya menindaklanjuti kasus ini. Sementara Guru tersebut, atas nama RR. Endang WP menyatakan minta maaf atas hal tersebut. Kelanjutan kasusnya belum tampil di media, kemungkinan besar akan/sudah diselesaikan dengan perdamaian.
Sekarang memang semua diselesaikan secara “Restorative Justice”, istilah yang cukup keren tapi tidak dipahami secara benar. Hasilnya, semua merasa tenang melanggar hukum, nanti tinggal minta maaf lalu beli meterai 10.000 lalu bebas. Pendidikan yang salah bagi masyarakat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sesungguhnya, RR Endang WP memang sudah membuktikan kepada kita semua beberapa hal:
- RR Endang WP tidak mampu mengendalikan diri dengan baik
- RR Endang WP berani menganiaya siswi dan mempersiapkan penganiayaan tersebut. Ini terbukti melalui alat cukur yang sudah disiapkan
- Penggundulan itu dilakukan secara terencana, jadi RR Endang WP bukan saja tidak mampu mengendalikan diri, tetapi juga tidak paham batasan kewenangannya
- RR Endang WP memang harus ditindak, kalaupun tidak ditindak secara hukum (UU Nomor 35 Tahun 2014), setidaknya dia harus diberhentikan dan tidak diperkenankan mengajar lagi.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan selayaknya memberhentikan guru yang mengerikan dan berperilaku negatif seperti ini. Saya yakin bila Inspektorat diturunkan ke SMP Negeri 1 Sukodadi Lamongan akan dapat menemukan berbagai pelanggaran lainnya seperti pemaksaan penggunaan jilbab, pemaksaan pembelian seragam, berbagai pungutan yang sudah dilarang, dan lain sebagainya.
Kepolisian pun seharusnya melihat dari sisi hukum dan mengambil tindakan yang terukur sesuai dengan rujukan hukum dan perundang-undangan yang ada. Undang Undang Perlindungan Anak seharusnya dijadikan rujukan dalam memproses setiap kasus terkait anak.
Dalam Pasal 76A UU Nomor 35 Tahun 2014 dinyatakan:
Setiap orang dilarang:
a. memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif.
Sementara Pasal 77 UU Nomor 35 Tahun 2014 menyatakan:
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah)
Kepolisian seharusnya paham bahwa adanya kewenangan melakukan penahanan untuk perkara dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara atau lebih adalah hal yang menunjukkan bahwa kejahatan tersebut sudah termasuk pada kejahatan berat. Kejahatan berat tidak boleh diselesaikan secara “Restorative Justice”, lihat lagi 8 (delapan) syarat penyelesaian sesuai dengan Pasal 12 huruf A dan B Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019.
Lalu bagaimana seharusnya kelanjutan kasus pemotongan rambut 14 siswi SMPN 1 Sukodadi Lamongan ini? Ibu RR Endang WP seharusnya diproses secara hukum sesuai dengan tuntutan beberapa Wali Siswi dan dapat ditahan selama proses dijalankan. Jangan sampai dalam kasus ini Polres Lamongan gagal menakar tingkat gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) menggunakan hasil analisis berbasis pengetahuan, data, dan metode yang tepat, sebagaimana diarahkan dalam slogan Polri Presisi.
Perilaku jahat itu dipelajari, bukan hanya perilakunya saja tetapi juga konsekuensi hukumnya. Bila setiap pelanggaran diselesaikan dengan “Restorative Justice”, konsekuensi yang timbul sesuai urutannya adalah:
- Pelaku akan merasa ringan saja melakukan kejahatan, tinggal berdamai, selesai
- Pelaku kejahatan akan bertambah dan ragam kejahatan lain akan meningkat
- Korban akan malas melaporkan tindak kejahatan, karena yakin akan ‘diarahkan’ untuk berdamai
- Korban mengambil langkah sendiri, membalas perilaku jahat dengan perilaku jahat; “An Eye For An Eye”
- Ketertiban masyarakat akan semakin tidak terkendali dan berujung pada “Hukum Rimba”
- Kejahatan meningkat
- Kepolisian gagal menciptakan ketertiban umum dan melindungi masyarakat.
Bagaimana kondisi masyarakat saat ini? Apakah Kepolisian dapat dikatakan gagal menciptakan dan menjaga ketertiban umum? Dalam banyak kasus jawabannya langsung terucap di benak pembaca. Hentikan “Restorative Justice”, tegakkan hukum sesuai dengan Fungsi Utama Kepolisian Negara Republik Indonesia.
-Roger Paulus Silalahi-