Penulis: Roger P. SIlalahi
“There comes a time when one must take a position that is neither safe, nor politic, nor popular, but he must take it because conscience tells him it is right.”
-Dr. Martin Luther King, Jr.-
Saya sedih melihat langkah yang diambil para petinggi negeri beberapa bulan terakhir. Kebanyakan berebut melakukan berbagai hal untuk memastikan kekuasaan berada di tangannya. Rakyat dijadikan mainan, dibentur-benturkan, dan didorong untuk saling bermusuhan.
Berbagai kasus digelindingkan, mulai dari kasus kecil setingkat ‘Si Kembar Penipu HP’, piala dunia U-20 yang lalu ‘diadu’ dengan piala dunia U-17 yang gilirannya mengena ke JIS dan mencolek nama Anies Baswedan. Kemudian, karena tercolek maka otomatis partai pengusung ikut tercolek, ditambah lagi dengan kasus korupsi triliunan yang digosipkan akan sampai menyentuh Prabowo Subianto.
Kasus jenis lain dikeluarkan, membenturkan Al Zaytun dengan MUI. AZ dikaitkan dengan terorisme oleh petinggi Densus, sementara AZ menunjuk MUI dengan keterkaitan teroris di dalamnya. Masuk kasus pelecehan seksual, lalu kasus-kasus terkait pendidikan digelontorkan, benturan guru dan pemerhati pendidikan, pelaku intoleran dan pejuang toleransi.
Lain lagi kasus Nikel yang dibenturkan dengan mafia nikel yang entah bagaimana ceritanya, menyeret negara asing yang juga dibenturkan dengan negara lainnya. Lompat lagi ke urusan sepele perihal undangan Raja Salman, semua dijadikan polemik dan dijadikan bahan benturan.
Merambah kekuasaan sebagai tujuan sebenarnya, KPK dibenturkan di internalnya. Kepolisian pun tak kurang masalah di dalamnya. Pensiunan TNI pun dipecah di 2 kubu utama dan (seolah) siap berbenturan, sementara pasukan setia masing-masing kubu mulai kebingungan.
Gerakan 3 Periode (G3P) 90% gagal, bisa berjalan jika negara ricuh, tapi apa itu yang dituju? Apakah karena G3P gagal lalu amarah meledak hingga menempatkan bangsa dalam resiko? Apakah sedemikian besar hasrat bertahan?
Eling Pak Jokowi… Eling…
Bukan hanya Jokowi, para Ketum partai pun tidak mau kalah. Mereka ikut bermain dalam ‘Bentur Benturan Game’. Caci maki halus yang merendahkan, teriakan seolah nasionalis yang dimanipulir, mempertahankan posisi walau dalam ancaman dipermalukan, semua bernafaskan sama, “Devide Et Impera”.
Mengaku benci penjajah, tapi menggunakan cara yang sama dengan penjajah. Bawa nama identitas, agama, partai, relawan, loyalis, semua sama. Sadar tidak sadar saling berbenturan dan saling membenturkan dan saling dibenturkan.
Siapa yang bodoh, siapa yang jahat, siapa pula yang bodoh dan jahat?
Rakyat, jangan mau diadu domba. Jangan ikuti dorongan mereka yang haus kuasa, jangan korbankan diri untuk nafsu angkara segelintir petinggi negeri. Bagi yang masuk di dalam kelompok rakyat penjilat petinggi negeri, silakan lanjutkan dan kalian pun akan merugi. Rakyat yang baik hanya berjuang untuk kebaikan negeri ini, tapi pun jika terpaksa mereka dibenturkan, maka benturannya akan sangat keras.
Adakah yang sanggup mempertanggungjawabkan darah dan nyawa yang sangat mungkin akan terkorbankan?
Petinggi Negeri atau Penghancur Negeri?
-Roger Paulus Silalahi-
Anti Devide Et Impera