Saat Gerindra Mulai Menabuh Genderang Perang dengan Narasi Film Porno
Penulis: Dahono Prasetyo
Ganjar Pranowo tidak butuh dibela kalau hanya untuk tuduhan yang menjurus hal-hal pribadi. Menonton film porno misalnya. Pernyataan jujurnya di sebuah acara wawancara dimaknai sebagai rusaknya kepribadian seorang calon presiden.
Itu hanya persoalan kecemburuan biologis yang digaungkan. Bagaimana seorang petinggi partai membela kakaknya yang ketua partai.
Barangkali Hashim sedang berusaha membela kakaknya yang secara pemenuhan kebutuhan biologis berbanding terbalik dengan Ganjar.
Penonton film bokep yang jujur berterus terang, dianggap menyindir lawan politiknya yang tidak paham kegunaan film bokep bagi reaksi biologisnya.
Kecemburuan pribadi itu dikembangkan menjadi narasi kebangsaan. Bahwa seolah-olah akhlak bangsa ini ditentukan pilihan pada pemimpin penyuka bokep atau anti bokep. Kalau memilih pemimpin penyuka bokep, maka bokep-lah seluruh generasi. (?)
Siapa yang memulai menabuh genderang perang, biasanya cenderung menjadi “penantang”.
Kontestasi Pilpres menjadi ajang perang kepribadian, bukan beradu gagasan.
Gerinda mencuri start negative campaign dengan memanfaatkan celah pribadi Ganjar. Hashim menganalogikan baik buruknya akhlak seukuran menonton film seks. Berupaya memupus daftar prestasi Ganjar yang tidak pernah dianggap sebagai prestasi. Gubernur yang gencar melawan intoleransi, salah satu contohnya.
Membanggakan Prabowo yang hobby naik kuda dengan Ganjar yang cuma hobby gowes, jogging tiap pagi, sama halnya mendefinisikan kelas calon pemimpin. Ganjar layaknya Jokowi, rakyat kelas biasa yang meniti karir untuk menjadi pemimpin. Prabowo yang sejak lahir sudah berada di kelas elite, juga mencoba untuk keempat kalinya menjadi Presiden.
Seharusnya Prabowo dan Gerindra berkaca pada 3 kekalahan sebelumnya. Rakyat sudah sudah muak disuapin dengan narasi elite berkelas yang semakin menjauhkan altar dengan menara gading. Rakyat dengan pemimpinnya.
Kedekatan dengan rakyat, kesederhanaan dan apa adanya Ganjar membuat cemburu kaum elitenya. Paradigma elit bisa “membeli” rakyat agar menurut untuk tunggangan kepentingan, sudah bukan eranya lagi. Kini rakyat justru dipersilahkan “menunggangi” pemimpinnya, mengantarkan ke mana keinginan tujuan rakyat berlabuh.
Slogan “Tuanku Ya Rakyatku” yang dicetuskan Ganjar, adalah sintesa bagi rakyat meski menjadi antitesa untuk para elitnya.
Percayalah, Prabowo tidak akan pernah bisa jadi Presiden hanya bermodal mem-bully salah satu penonton film porno. Lalu melarang film bokep demi akhlak masa depan bangsa.
Karena sebenarnya itulah film “pemersatu” bangsa yang sesungguhnya.