Tahun Politik 2023-2024 #KerjaBersih KerjaBersih KerjaBersih
Penulis: Togap Marpaung
Tulisan ketiga ini merupakan lanjutan tulisan kedua berjudul, Rakyat Pelapor Korupsi (Whistleblower): Bapak Presiden Mohon Perhatian, PP No.71 Tahun 2000 Tak Guna, Ubah Jadi PP No.43 Tahun 2018 Belum Berguna.
PP No.43 Tahun 2018, apakah sudah benar bahwa pemberian penghargaan termasuk premi telah dioptimalkan kemudahannya kepada masyarakat?
Belum ada terasa optimalisasi dari PP No.43 Tahun 2018 sesuai dengan pengalaman dan pengamatan penulis. Malah menjadi suatu peristiwa ironis karena pelapor korupsi menjadi korban kejahatan birokrasi, penzoliman hingga dipaksa pensiun sebagaimana kesaksian penulis yang ditulis lengkap dan jelas pada buku kedua, judul: “AGENT OF CHANGE MELAWAN KEJAHATAN BIROKRASI”. Sub Judul, “Memohon ke BKN, Menggugat ke PTUN 3 Kali, Menggugat ke KIP 2 Kali, Memohon ke KASN, Presiden, Dipaksa Pensiun”.
Dengan terbitnya PP No.43 Tahun 2018 menggantikan PP No.71 Tahun 2000, ada beberapa pasal yang direvisi, diantaranya yang signifikan adalah identitas pelapor. Tadinya tertutup karena wajib dirahasiakan maka menjadi terbuka.
Perubahan merupakan tuntutan sebagai konsekuensi dari pemberian piagam penghargaan dan atau premi serta transparansi yang juga diatur dalam Whistleblowing System yang sudah menjadi aturan di setiap instansi pemerintah.
Whistleblowing System dibuat dalam bentuk Peraturan Menteri atau Peraturan Kepala Badan (non kementerian) yang mengatur terkait pelaporan dugaan tindak pidana korupsi.
Salah satu Peraturan Menteri yang menjadi perhatian penulis adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System) Dugaan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Kementerian Kesehatan.
Dalam konsideran menimbang disebutkan “bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Lahirnya Permekes ini sebagai amanat dari PP No.71 Tahun 2000 yang senapas dan harmonis dengan PP No.43 Tahun 2018.
Kemudian, norma dari Permenkes ini membuat penulis semakin percaya diri menjadi pelapor korupsi, yaitu Pasal 2 ayat (1) Setiap pejabat/pegawai di lingungan Kementerian Kesehatan yang melihat atau mengetahui adanya dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian keuangan negara, wajib melaporkan kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan dan/atau Unit Kerja yang ditunjuk.
Betapa agungnya ketentuan itu, karena ada kata perintah “wajib” yang biasanya menjadi ketenuan suatu undang-undang, yang apabila tidak dilaksanakan maka pegawai yang bersangkutan dikenai sanksi pidana atau secara umum yang menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat disebut “dosa.”.
Itulah beban hidup bagi yang berkomitmen dan berintegritas untuk bela negara sebagaimana anjuran Presiden Jokowi: Kerja Kerja Kerja. Tetapi bagi Koruptor dibalik dengan sikap: Korupsi Korupsi Korupsi.
Oleh karenanya, penulis melengkapi dengan slogan #KerjaBersih KerjaBersih KerjaBersih sebagaimana pada bagian judul.
Penulis terbuka sebagai pelapor korupsi atau whistleblower yang mendapat perlindungan dari pemerintah melalui insatansi berwenang, yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hingga mendapat perlindungan 3 (tiga) kali dari LPSK.
Status whistleblower ini pernah dipertanyakan oleh Kepala BAPETEN karena paham Beliau adalah pelapor tidak boleh diketahui namanya sehingga dianggap tidak sah, malah mungkin dianggap sok-sokan. Dengan demikian, tulisan kata “whistleblower” pada judul buku pertama adalah sesuai kaidah hukum.
Pemberian piagam penghargaan bagi pelapor yang berhasil mencegah sudah jelas pada Pasal 14.
Demikian halnya selain piagam penghargaan, ada juga premi yang akan diberikan bagi pelapor yang sudah berhasil mengungkap kasus korupsi, ketentuannya diatur pada Pasal 15. Nilai premi pun, sudah ditetapkan, yakni 2/1000 (dua per seribu atau dua per mil) dari kerugian keuangan negara yang berhasil dikembalikan kepada negara dan paling banyak Rp 200 juta bagi yang berhasil mengungkap kasus korupsi.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengusulkan agar imbalan atau premi untuk masyarakat pelapor korupsi supaya ditambahkan, dua per mil dari total kerugian negara yang dikembalikan kepada negara menjadi satu persen. Dari pemberitaan media didapat informasi bahwa KPK sudah mengajukan usulan penambahan itu kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti. Mengapa tidak ada tindak lanjut dari Presiden yang berwenang untuk mengeluarkan PP?
Menurut Agus Raharjo telah dua kali memberi hadiah kepada masyarakat dalam rangka pencegahan, pemberantasan dan pengungkapan tindak pidana korupsi. Informasi itu disampaikan Ketua KPK menjawab pertanyaan anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan. Tidak dijelaskan siapa orangnya sebagai pelapor, apakah anggota masyarakat biasa, pegawai negeri sipil atau pegiat anti korupsi dari lembaga swadaya masyarakat.
Pihak media juga melakukan wawancara dengan Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo serta Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman.
Pada Pasal 16, diatur ketentuan terkait dengan, (a) peran aktif pelapor mengungkap tindak pidana korupsi; (b) kualitas data laporan atau alat bukti; dan (c) risiko faktual bagi pelapor.
Pemberian piagam penghargaan dan premi diberikan kepada pelapor setelah kasus korupsi sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), ada putusan pengadilan sebagaimana diatur pada Pasal 17 PP No.43 Tahun 2018.
Secara konsep, iya PP No.43 Tahun 2018 sudah jauh lebih progresif karena norma yang diatur menjadi ketentuan sudah lebih jelas dan rinci. Tetapi ada hambatan karena sistem penegakan hukum yang belum baik (belum sesuai dengan amanat penderitaan rakyat). Nah, hambatan problem ini yang menjadi keprihatinan penulis,
Oleh karenanya, penulis menyimpulkan bahwa dalam tataran pelaksanaan, PP No.43 Tahun 2018 belum berguna sebagaimana sebagian judul tulisan pertama pada media yang sama ini. Kesimpulan menjadi demikian karena fakta yang dialami sendiri oleh penulis, meskipun semua persyaratan yang ditetapkan pada Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 dipenuhi. Kecuali ayat (4) Pasal 15, yaitu salinan putusan pengadilan.
Berdasarkan hasil telaah sesuai fakta yang dialami bahwa tidak mungkin penulis mendapatkan piagam penghargaan meskipun sudah berhasil mencegah sesuai amanat Pasal 14. Juga tidak mungkin penulis mendapatkan piagam penghargaan dan premi sesuai amanat Pasal 15 PP No.43 Tahun 2018 jika kasus dugaan tindak pidana korupsi diproses di Subdit V. Korupsi Ditreskrimsus Polda Metro Jaya yang sudah tahap penyidikan sejak tanggal 19 Maret 2020. Penyidikan dihentikan tanpa ada alas an yang berarti henti dengan asal-asalan.
Dengan hormat dimohon kepada Bapak Presiden Jokowi, agar pemberian penghargaan dan premi dapat dioptimalkan kemudahannya kepada masyarakat. Untuk itu, maka PP No.43 Tahun 2018 harusnya lah direvisi dalam waktu dekat sebelum berakhir masa jabatan Presiden periode 2019-2024.
Penulis didukung Koordinator Masyarakata Anti Korupsi Boyamin Saiman dalam waktu dekat akan mengajukan Uji Materiil Pasal 14 dan Pasal 15 PP No.43 Tahun 2018 ke Mahkamah Agung (MA). Persiapan sudah dimatangkan, penulis sudah konsultasi dengan petugas pendaftaran uji materiil dan mendapat pelayanan yang baik dari pegawai TUN MA Jakarta.
Semangat perjuangan membara Bela Negara tetap solid kepada penulis dari internal kami, Gerakan Anti KKN Alumni UI (GAKKNAUI) Koordinator Amroeh Adiwijaya mantan Ketua Senat FH UI 83-84.
Salam hormat,
ttd.
Togap Marpaung
Penulis adalah Pelapor Korupsi yang dipaksa pensiun di Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dan Penulis Buku: “RUDAL PELAPOR (WHISTLEBLOWER) DUGAAN KORUPSI PENGAWAS NUKLIR”. Sub Judul: “Kerugian negara sudah kembali sebagian sekitar 2 miliar rupiah dan 1 triliun rupiah sudah saya cegah”.
Baca juga: