Riana, Symphonyku di Sidney Opera House

Foto: pixabay

Penulis: Erri Subakti

Rambutnya terus rontok. Hingga tak satu helai pun melekat pada kepalanya. Namun senyum Riana  selalu menampakkan keceriaan. Meski aku tau di dalam hatinya ia begitu sedih.

Kerudung itu sekarang menjadi teman setia dalam setiap penampilannya.

-Iklan-

Telah empat tahun sejak pertemuan kami yang terakhir, kondisinya semakin memburuk. Aku sendiri tidak tega melihat betapa menderitanya ia dari efek kemotherapy yang sedang dijalaninya. Sesungguhnya proses itu pun hanya memperpanjang usianya saja untuk menghirup oksigen di dunia.

Meski aku percaya pada sebuah keajaiban, namun melihat betapa payahnya kondisi Riana, aku sungguh tidak tau harus bagaimana bersikap di hadapannya.

***

Aku dan Riana telah sangat dekat sejak duduk di bangku sekolah menengah namun kebersamaan kami waktu itu sangat singkat karena kami harus berpisah karena keadaan. Meskipun singkat, sarat dengan kenangan dan cerita.

Riana yang menurutku sangat berani. Meski banyak perbedaan di antara kami tapi itu bukan membuat jarak, malah membuat kami semakin dekat, yang akhirnya aku menjadi banyak tau tentangnya.

Riana ditinggal ibunya saat usianya 10 tahun. Ia  yang memiliki bakat luar biasa dalam bidang musik, akhirnya diajak bergabung dengan beberapa kelompok orkestra hingga sekarang ia kerap tampil bersama Melbourne Symphony Orchestra.

Aku selalu ingat saat dulu aku kerap iseng menyembunyikan sepatunya, atau mencuri coklat dan snack dari dalam tasnya untuk dibagi-bagikan ke teman-teman sekelas. Senyum jahilku membuatnya marah kala itu.

“Stop it! I don’t want to talk with you..! Dasar tukang iseng dan usil…, jangan coba-coba ya….”

***

Senja di Sidney Opera House adalah nuansa penuh pesona buat kita berdua. Ya, saat itulah kita bertemu kembali setelah setelah beberapa tahun tak berkomunikasi.

Seusai pertunjukkan Melbourne Symphony Orchestra, aku segera mencarinya ke backstage.

Akhir tahun ini adalah tahun terakhir study-ku di Language and Literacy, Univ. of Melbourne. Dan beberapa bulan belakangan ini aku kerap sekedar mencorat-coret tulisan bergenre fiksi, untuk sekedar membunuh waktu.

“Kamu gak pantes nulis fiksi..! Semua fiksimu sangat buruk, jelek sekali. Basi! Aku bilang jelek karena fiksinya itu-itu saja. Sama saja dengan fiksi cinta yang lainnya…. Kalau percintaan kan selalu seputar itu-itu saja. Bosen jadinya….” kritik Riana tajam.

Riana yang menurutku smart, sangat perhatian, selera humornya tinggi, tapi yang membuat sedih adalah mengetahui kehidupannya yang sarat dengan kepahitan hidup. Kehidupannya tidaklah seindah alunan symphony yang dimainkannya.

Masih sering ku dengarkan Love Story yang kerap dimainkannya…, dan kini aku pun telah menguasainya, kerap ku dentingkan alunannya di atas tuts-tust piano. Begitu melody yang terangkai menyiratkan kesedihan dan kebahagiaan.

Rahasia Tuhan siapa yang tau, kami dipertemukan lagi. Kami kembali saling berbagi cerita. Beberapa kali kami bertemu dan banyak cerita yang tercecer.

“Kita bertemu itu takdir dari-Nya, walaupun setiap pertemuan itu nggak selalu mesti bersatu…,” ujar Riana padaku kala itu.

***

Lamat-lamat kupandangi ke arah panggung, dari jarak balcony Sidney Opera House ini, tampak kekosongan di bangku pemain cello, di mana Riana kerap membagi alunan indahnya dalam sebuah symphony…. Tak kutemukan sosoknya.

Baca sebelumnya:

Riana, Symphony di Palung Hati

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here