Amanah Konstitusi adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, Bukan Kesejahteraan Bagi Penguasa dan Oligarki

Penulis: Ganda Situmorang

Masihkah kita boleh berharap pada kolaborasi penguasa dan oligarki saat ini untuk melaksanakan amanah Konstitusi mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia?

Bagaimana itu mungkin terwujud jika melihat fenomena puncak gunung bawah laut dalam. Kasus pejabat pajak RAT, kasus Sambo, adalah beberapa puncak gunung es bawah laut dalam. Kasus itu mencuat kepermukaan sesungguhnya bukan karena kerja APH. Melainkan karena sebuah kejadian acak yang kemudian dikuliti lebih lanjut oleh kekuatan rakyat pengguna media sosial (netizen).

-Iklan-

Agenda pemberantasan korupsi sesungguhnya mandeg. IPK Indonesia stagnan. Rakyat justru disuguhi panggung sinetron nyata flexing para pejabat dan keluarganya di media sosial. Hari ini kita tidak perlu lagi menonton sinetron Tersayang dan sejenisnya di layar kaca, karena panggung kisah nyata sudah disuguhkan di sosial media.

LHKPN para pejabat selama masa pandemi COVID-19 tahun 2020-2022 rerata semua semakin kaya. Tetapi di saat yang sama ratusan ribu korban KSP, Dapen, dan PHK jatuh miskin. Mayoritas masyarakat selama masa PPKM hidup kismin. Puluhan Juta ditopang oleh bansos Rp 150 ribu per bulan. Di saat yang sama tidak sedikit LHKPN pejabat nilainya bertambah puluhan hingga ratusan miliar!

Selama belum ada koruptor yang ditembak mati. Selama koruptor tidak dimiskinkan. Maka korupsi akan tetap meriah dalam senyap ibarat gunung raksasa di bawah laut dalam.

Sebenarnya Indonesia berusaha membangun agenda state of capitalism. Namun tidak dengan agenda seperti Singapore dan China, yang mana BUMN-nya lead terhadap bisnis strategis. BUMN bertugas melaksanakan agenda ekonomi W.W Rostow. Yaitu negara diwajibkan hadir untuk mendistribusikan sumber daya seraca proporsional kepada rakyat sesuai dengan tahapan pembangunan yang terprogram dan konsisten.

Sayangnya Indonesia, sejak reformasi kita berubah bukan kepada peningkatan nilai atas dasar agenda yang jelas, tetapi lebih pragmatis dan too good to be true. Akibatnya distribusi sumber daya tidak terprogram, jatuh tidak ke bawah tetapi berputar di atas saja.

Uang menguap ke atas. Rasio GINI tetap lebar.

SDA kita besar. PDB kita terbesar 16 di dunia. Tapi likuiditas perbankan kalah jauh sama Singapore. Padahal PBD Singapore ¼ PDB Indonesia. Aset perbankan Singapore juga lebih besar dari aset perbankan Indonesia. Data statistik konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 55% dari PDB, pertumbuhannya selalu di bawah angka pertumbuhan ekonomi. Itu artinya tingkat kesejahteraan kita semakin tahun semakin turun nilainya.

Dan lucunya karena itu kekuasaan tetap kokoh berdiri dan setiap presiden berganti selalu dibebani harapan. Ternyata harapan omong kosong semua. Kita engga ke mana mana.

Machiavelli tidak mengutuk kejahatan sebagai alat kekuasaan. Dia malah menyarankan tindakan amoral dilakukan dengan cepat. Penguasa juga perlu mencari cara agar rakyat selalu bergantung pada negara. Kalau sistem diperlukan agar si miskin tidak bisa mengakses sumber daya, ya sistem itu akan di-create. Pada waktu bersamaan penguasa membagi bagi sumber daya kepada elite yang mendukung kekuasaannya, agar elite itu jadi budak kekuasaan.

Kekuasaan itu didapat dari merangkul orang lemah dan frustasi. Dan mengajak mereka untuk bersatu melawan siapa saja dengan janji populis. Walau cara mendapatkan kekuasaan itu tidak etik dan tidak bermartabat. Itu tidak penting. Karena selalu ada pembenaran bagi pemenang. Ketika berkuasa, maka yang dilakukan adalah membuat aturan yang membungkam orang lemah itu dulu.

Di era sekarang, dibungkam lewat UU ITE. Hanya dianggap melanggar pasal hate speech, itu bisa mengurung orang 5 tahun penjara sedikitnya (Ejb).

Bentuk Pemerintahan Transisi, jangan terlambat Negara di kuasai Pejabat Penjahat.

Selamatkan keluarga JokoWi, beri dia Istirahat.

25 Maret 2023

Sebuah saduran dari tulisan Erijeli Bandaro.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here