SintesaNews.com – Pada sekitar 1972 pemerintahan Orde Baru mulai membangun proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Namun pembangunan proyek tersebut mendapat gelombang penolakan dan aksi demonstrasi dari kelompok mahasiswa dan aktivis.
Mereka menilai proyek itu hanya buat memenuhi ambisi pembangunan fisik oleh penguasa serta menyedot banyak anggaran negara, dan tidak berdampak bagi masyarakat luas.
Selain itu, para mahasiswa juga mengkritik Siti Hartinah atau Ibu Tien Soeharto sebagai orang yang bertanggung jawab atas proyek itu.
Para aktivis dan akademisi juga menilai TNI tidak patut masuk ke ranah politik dengan alasan dwifungsi, dan semestinya menjadi prajurit yang profesional.
Soeharto pun terusik dengan gelombang unjuk rasa mahasiswa itu. Para aktivis mahasiswa mulai ditangkapi oleh aparat keamanan ketika berdemo.
Soeharto lantas menyampaikan ancamannya secara terbuka atas gelombang demonstrasi saat itu.
Ketika itu Soeharto beralasan ada pihak-pihak yang mempolitisasi proyek TMII untuk memojokkan dia dan pemerintahan.
Selain itu, Soeharto merasa momen itu digunakan untuk mencoba mendesak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini Tentara Nasional Indonesia) untuk melepaskan peran dwifungsi dan menjadi prajurit profesional.
“Jangan coba-coba melakukan hal-hal yang tidak konstitusionil, sebab saya akan hantam siapa saja….dan pasti mendapat dukungan ABRI. Begitu pula kalau ada yang mencoba-coba memakai kedok ‘demokrasi’ yang berlebihan, sehingga mengganggu kestabilan, tidak akan saya biarkan,” ujar Soeharto berapi-api meluapkan amarahnya saat pembukaan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di Jakarta Selatan, Januari 1972.
Soeharto ketika itu mengeklaim proyek Taman Mini Indonesia Indah tidak mengganggu program pembangunan yang sudah dicanangkan.
“Saya sebagai penanggung jawab pembangunan menjamin tidak akan mengganggu pembangunan. Saya menjamin bahwa pendapatan uang negara tidak akan disedot dan proyek itu tidak akan mengganggu penerimaan negara,” ujar Soeharto.
Akhirnya proyek TMII dilanjutkan dan resmi dibuka pada 20 April 1975.
Sejak saat itu TMII dikuasai oleh Yayasan Harapan Kita yang tak lain milik “clan Cendana.” Artinya tiap tiket masuk yang terjual itu masuk kantong yayasan milik keluarga Cendana.
Tercatat omzet TMII bisa mencapai Rp 50 miliar hingga 100 miliar.
Kendati demikian, selama dikelola oleh Yayasan Harapan Kita, tak pernah ada sepeserpun diberikan untuk negara.
Kementerian Sekretariat Negara mengungkapkan, selama mengelola, Yayasan Harapan Kita tidak pernah menyetor pendapatan TMII ke kas negara.
Padahal menurut menurut Keppres No. 51/1977, TMII merupakan aset Negara Republik Indonesia.
Beruntung Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden No.19/2021, untuk menghentikan seluruh kegiatan yayasan keluarga Cendana di TMII.
Maka sejak April 2021, pemerintah telah resmi mengambil-alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah.
Baca juga:
Lahan Hotel Sultan Kembali Milik Negara, Hotel akan Dirobohkan?