Buku “Mereka Menodong Bung Karno, Kesaksian Seorang Pengawal Presiden” Ungkap Misteri Supersemar

Penulis: Nurul Azizah

Melalui Bedah Buku “Mereka Menodong Bung Karno, Kesaksian Seorang Pengawal Presiden,” karya Soekardjo Wilardjito (Galangpress,Yogyakarta, 2008), terungkap kesaksian dari seorang pengawal Presiden Soekarno yang bernama Soekardjo Wilardjito, soal siapa sebenarnya Presiden Soeharto.

Alhamdulillah saya sudah tamat membacanya, kita sebagai generasi muda harus belajar banyak hal melalui kegiatan literasi.

-Iklan-

Untuk sahabat-sahabat di Nusantara yang punya semboyan NKRI HARGA MATI, di bawah ini saya rangkumkan isi dari buku tersebut. Selamat membaca.

Ketika harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dalam edisi 19 Juni 2008 menurunkan berita utama di halaman pertamanya berbunyi “Kesaksian Peristiwa Supersemar: MA Menangkan Wilardjito,” banyak pembaca tentu bernafas lega. Betapa tidak, hukum di Indonesia yang biasanya cenderung berpihak pada yang kuat (dan berduit), kali ini membela pihak yang lemah.

Mahkamah Agung (MA) yang memiliki wewenang hukum tertinggi untuk memutuskan perkara di negeri ini telah memperhatikan suara salah seorang warga masyarakat yang selama ini dipinggirkan dari lingkaran keadilan.

Langsung saja ke peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966 yang dituturkan dan ditulis oleh Soekardjo Wilardjito, seorang pengawal Presiden Soekarno.

Hanya mengenakan baju piyama, pada tanggal 11 Maret 1966 dini hari, Bung Karno menemui keempat Jendral yang datang ke Istana Bogor, mereka adalah Jenderal M. Yusuf, Amir Mahmud, Basoeki Rachmat, dan M. Pangabean.

Lantas Jendral M Yusuf menyodorkan sebuah surat dalam map warna merah jambu. Setelah membaca surat tersebut, dengan nada terkejut, Bung Karno spontan berkata: “Lho diktumnya, kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!”

Mendengar Bung Karno bilang seperti itu, secara reflek Wilardjito yang berada di ruangan tersebut tak kalah terkejutnya. Surat itu tak ada lambang Garuda Pancasila dan kop surat tersebut bukan berbunyi Presiden Indonesia, melainkan kop di kiri atas, Markas Besar Angkatan Darat (Mabad).

Pak Karno menolak untuk tanda tangan, lagi-lagi pistol diacungkan, sambil berkata: “Untuk mengubah waktunya sangat sempit.” Tanda tangani sajalah, Paduka.” “Bismillah,” sahut Basuki Rahmat, yang diikuti M. Pangabean mencabut pistol FN 46 dari sarungnya.

Secepat kilat Wilardjito juga mencabut pistol.

“Jangan! Jangan! Ya sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku.”

Keempat jendral itu lantas mengundurkan diri, dari Istana Bogor.

“Mungkin aku akan meninggalkan istana, hati-hatilah engkau,” kata Bung Karno kepada Wilardjito.

Dan benar itu menjadi malam terakhir Wilardjito berjumpa dengan Bung Karno.

Selanjutnya Wilardjito ditangkap oleh rezim Orde Baru, disiksa, dipenjara yang berpindah-pindah selama 14 tahun (1966 – 1980).

Nurul Azizah penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi

Buku
Buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi” karya Nurul Azizah

Baca juga:

Malam ‘Kudeta Merayap’, Rapat Rahasia Soeharto 11 Maret 1966

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here