Penulis: Roger P. Silalahi
Tidak ada ketertarikan untuk membahas kisah cinta anak ingusan yang menghasilkan segudang petaka bagi orang tua, masa depan anak, rekan sejawat orang tua atau pihak lain yang terkait. Ketertarikan saya ada pada bagaimana kaum intoleran menunggangi kasus ini dengan kompor yang apinya biru, gembira, bukan prihatin.
Banyak pelajaran dari kasus ini, mungkin terlalu banyak, netizen +62 pun seperti biasa langsung menyerbu dengan sejuta postingan, sejuta caci maki, sejuta penghakiman. Sudah biasa. Tapi dari keseluruhannya, sejak Jumat sore, postingan mulai bergeser ke arah yang jahat.
Saya melihat kasus ini sebagai kasus karma dalam kehidupan masing-masing individu yang terlibat di dalamnya. Karma berjalan tanpa suara, tidak ada yang tahu kapan, tidak ada yang tahu apa bentuknya, tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya. God’s way, God’s will.
Kasus ini menjadi besar karena detektif partikelir cap 2 punuk perusak bangsa mulai mengangkat data-data yang tidak ada keterkaitannya. Diketahuilah bahwa Mario anak salah satu Pejabat Ditjen Pajak, Agnes model entah anak siapa lalu David anak salah satu Kepala Banser. Lalu kisah cinta anak ingusan diumbar.
Kok ya dapat izin pacaran sih anak sekecil itu..? Kok bisa pakai Rubicon sih anak itu…? Masih pertanyaan wajar, dijawab dengan; “Memang keganjenan aja itu anak perempuan, jahat…”, lalu “Pasti mobil hasil korupsi itu…”, dan detektif partikelir cap 2 punuk menambahkan data.
“David itu mualaf lho…”, pancingan awal digulirkan…
“Ternyata Mario itu Katholik”, pancingan lanjutan…
Hey Kaum Bedebah Pengadu Domba Anak Bangsa, ini masalah perkelahian yang disebabkan urusan cinta anak ingusan. Apa tujuanmu menampilkan nama agama masing-masing pihak…?
Media besar “mainstream” pun ada yang mengangkat hal keagamaan ini, mengkaitkan kemualafan, mencoba membenturkan banyak orang dalam sentimen agama. Wartawan model apa itu…? Wartawan cap 2 punuk…? Editornya tidur atau mabuk…? Pemrednya bodoh atau jahat…?
Saya bukan wartawan, hanya kolumnis kelas kacang, tapi saya paham etika, saya paham mempertimbangkan kebaikan dan keburukan, paham menahan data dan kata yang kontra produktif. Hentikan…!!! Bahas kasus hukum di ranah hukum…!!!
Jangan angkat data yang tidak ada korelasinya dengan kasus hukum yang terjadi lalu merasa hebat karena viewer naik. Beritakanlah yang perlu diberitakan, jadilah media yang punya martabat, mencerdaskan, bukan merusak.
Untuk kaum perusak bangsa:
Jangan tunggangi kasus ini, jangan mainkan “Politik Identitas” yang kalian banggakan itu. Kalian akan kami lawan.
Masyarakat Indonesia haruslah menjadi Masyarakat Pancasila, yang berdiri tegak untuk kebenaran, membahas semua sesuai porsinya, menempatkan semua dalam posisi setara.
Melihat perbuatan sebagai perbuatan, bukan sebagai produk identitasnya.
Ketika aksi teror bom terjadi, semua teriak; “Terorisme Tidak Punya Agama”. Demikian pula Kekerasan, Pembunuhan, Penganiayaan “Tidak Punya Agama”. Berhenti mengagamakan masyarakat, karena agama adalah hal privat, individu dengan Tuhannya, bukan hal yang bersifat publik, bukan urusan masyarakat.
Mari bijak dalam berbagi informasi, menerima informasi menindaklanjuti informasi serta menjadi manusia yang informatif serta berkontribusi dalam solusi positif dan produktif. Bangsa kita butuh maju, maju dalam nilai, maju dalam etika, maju dalam pemikiran maju dalam kedewasaan bermasyarakat.
Kejahatan yang terungkap, adalah karma bagi pelakunya. Bila belum terungkap akan menjadi karma pada saatnya. Semoga karma baik menjadi milik kita.
Roger P. Silalahi
Kolumnis Kelas Kacang
Tulisan bagus dan kritis. Kita memang harus mulai melawab karena diam adl kejahatan.
Wah sangat setuju dg tulisan anda…
Saya juga sudah lama heran dg berita di koran yg termasuk kelas atas, yg nulis dlm bahasa Indonesia saja banyak yg salah (tidak menggunakan bhs Indonesia yg baik & benar), apalagi isinya yg banyak diragukan kebenarannya…
Dan tentu berpikir, ini editornya juga tidak mengerti (maaf, “sama bodohnya”) atau tidak melakukan pekerjaannya?