Penyimpangan Proses Hukum Meninggalnya Mahasiswa UI Memicu Pendalaman Keterlibatan

Penulis: Roger P. Silalahi

Secara gamblang berbagai hal yang tidak wajar ditampilkan dan terjadi dalam proses hukum kasus kecelakaan yang menewaskan M. Hasya Attallah Saputra, mahasiswa jurusan Sosiologi FISIP UI pada 6 Oktober 2022. Rasa heran dan kaget yang datang silih berganti akhirnya mendorong saya melakukan pendalaman atas kasusnya, dan juga pihak-pihak yang mungkin terkait dalam kasus ini.

Saat orang tua Almarhum Hasya datang ke rumah sakit setelah mendengar anaknya kecelakaan, mereka menanyakan beberapa hal, salah satunya adalah; “Siapa yang menabraknya…?”. Pertanyaan itu dijawab seorang laki-laki, ya Eko, dengan mengatakan; “Saya yang menabrak… Saya yang melindas anakmu… Mau apa…?”. Ini tidak wajar. Sewajarnya Eko merespon dengan penyesalan, permohonan maaf, empati yang mendalam. Respon Eko menunjukka bahwa dia merasa dirinya sangat hebat dan kuat.

-Iklan-

Setelah pemeriksaan orang tua dan saksi, dilakukan gelar di lokasi yang bukan lokasi sebenarnya, dan dipaksakan data yang tidak valid untuk diakui. Data dimaksud adalah data terkait kecepatan kendaraan, dimana Almarhum dinyatakan berjalan dengan kecepatan 60 km/jam dan disebut ‘ngebut’, sementara Eko berjalan dengan kecepatan 30 km/jam. Data yang saya dapatkan dari gaikindo.or.id menunjukkan kecepatan rata-rata motor dan mobil di jalanan dalam kota Jakarta secara umum adalah 60 km/jam, sementara Permenhub Nomor 111 Tahun 2015 menetapkan batas maksimal kecepatan kendaraan pada jalan perkotaan adalah maksimal 50 km/jam.

Pengetahuan terkait batasan kecepatan ini sangat mungkin mempengaruhi penetapan kecepatan Almarhum dan Eko. Pertanyaannya adalah, apakah Kepolisian dapat menunjukkan bukti atas hal tersebut, apakah kecepatan itu merupakan kesaksian orang yang memegang alat sensor kecepatan kendaraan, ataukah keseluruhannya hanya asumsi yang sangat mungkin ‘bias’…? Dalam Kriminologi saya mengenal idiom “Assuming is a crime” (Berasumsi adalah sebuah kejahatan).

Hal lain lagi, ada 2 saksi yang hilang dari lokasi, Tukang Bakso dan Pedagang Handphone yang mendadak tidak berjualan, mungkin pindah tempat berjualan, mungkin mendadak kaya raya, mungkin sudah meninggal. Apapun dasar hilangnya, yang pasti “Simsalabim” saksi hilang. Ini pun menjadi pertanyaan banyak orang; “Bisa pas ya, saksi mendadak hilang, dua-duanya hilang…”, cukup ajaib bukan…?!

Baik, sampai sini sudah cukup jelas bahwa Tim Pencari Fakta punya tugas yang berat:
1. Harus melakukan gelar ulang perkara, di TKP yang sebenarnya.
2. Harus menganulir ‘asumsi kecepatan kendaraan’, kecuali dapat dibuktikan.
3. Harus mencari Tukang Bakso dan Pedagang Handphone yang hilang.

Mengapa terkait kasus Selvi di Cianjur perlakuannya berbeda…? Apakah karena Polisi yang terlibat beda pangkat…? Tentu saja tidak. Apakah karena keterkaitan (baca: koneksitas) yang berbeda…? Ini lebih masuk akal. Koneksitas, satu kasus membongkar kasus lainnya, di Indonesia nampaknya seperti ini trend nya.

Siapa Kompol D…? Ternyata kaitannya ada dengan Nur, ada dengan pertanyaan besar terkait harta kekayaan, terkait dengan apa yang dilakukan Kompol D sampai bisa punya Audi dan 2 istri, karena dia bukan ‘siapa-siapa’ dan sampai sekarang belum terlihat bukti keterkaitannya dengan siapa-siapa’.

Siapa Eko…? Ternyata kaitannya dengan RFS (seperti ujung plat mobilnya), mantan Kapolda Bali yang mantan Dirjen Imigrasi, yang mengkaitkannya dengan kasus Jaksa Pinangki, dimana kata media transfer dana ke Pinangki datang dari GVS, anak RFS tadi, yang ternyata menikah dengan TES anak Eko, yang ternyata seorang Perwira Polri juga, bertugas di Sulawesi.

Dimana Eko bekerja sekarang…? Apakah di salah satu perusahaan group Artha Graha…?
Ini pertanyaan lho…

Semakin jelas keterkaitan yang ada. Rupanya benar kata Kakek saya dulu; “Orang Jahat Akan Berkumpul Dengan Orang Jahat, dan Polisi Akan Berkumpul Dengan Polisi”. Ketika saya tanya; “Bagaimana kalau Polisi Yang Jahat…?”, Kakek saya bilang; “Polisi Jahat Tidak Ada, Yang Ada Penjahat Yang Berprofesi Sebagai Polisi, Itupun Akan Kumpul Dalam Satu Ikatan”, dan mereka itu akan menerapkan ESPRIT DE CORPS secara salah.

Perlahan menjadi semakin terang unsur yang mungkin mempengaruhi proses menyimpang yang terjadi pada kasus Kecelakaan Maut Mahasiswa UI bernama M. Hasya Attalah Saputra. Kita gali terus, perlahan tapi pasti, pilihannya hanya 2:

  1. Kasus tuntas sebelum bongkar-bongkar tuntas.
  2. Bongkar-bongkar tuntas sehingga kasus tuntas.

Ini era digital, ingat:
“Masyarakat semakin hari semakin sadar hukum, dan Kepolisian semakin hari mempunyai semakin banyak mata yang mengawasi dan akan berteriak untuk setiap penyimpangan, kesewenang-wenangan, serta penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan yang terjadi”.

-Roger P. Silalahi-
Alumni Kriminologi FISIP UI

Baca juga:

Dirlantas Polda Metro Jaya, Tidak Paham Hukum atau Pembohongan Publik?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here