Penulis: Roger P. Silalahi
Saya lahir dan besar di Bandung, tumbuh besar di Bandung, mengenal Bandung tempo dulu sampai ke semua gang di dalamnya. Jadi anggota Gank Motor, atlit balap motor jalanan, dan segudang hal lain saya jalani di Bandung. Bandung adalah kota yang saya cintai. Sungguh kaget membaca bahwa Bandung sekarang dijuluki sebagai “Gotham City” terkait kejahatan yang tejadi di sana. Gotham City berhasil diamankan oleh Batman dalam kisah aslinya. Baiklah, Batman harus turun tangan.
Sebagai seorang Batman (peranakan Batak Manado), saya terpanggil untuk membantu mengatasi hal ini dengan cara menuliskan secuil saran bagi junior saya di Paskibraka Kodya Bandung, Kang Ridwan Kamil alias Kang RK, Bapak Sekda yang saya tidak kenal, dan Bapak Walikota yang juga saya tidak kenal, serta aparat Kepolisian yang sebagian masih ada yang saya kenal.
Kang RK, masalah itu ada untuk diselesaikan, bukan untuk dibandingkan lalu berkata bahwa tidak lebih buruk dari kota A atau B atau C, “Isin atuh Kang, piraku saukur ngasuh budak teu tiasa…?”
Kang RK harus dapat memahami bahwa Gank Motor adalah bagian dari budaya anak muda kota Bandung sejak dulu, dan pola pengendaliannya sudah pernah dilakukan di masa lalu dan berhasil, yakni dengan menyediakan sirkuit Cikidang.
Berbagai lomba balap di kisaran Gedung Sate, menempatkan anggota Kepolisian di setiap Gank Motor sebagai Anggota Kehormatan yang menjalankan fungsi koordinasi, pendidikan, dan pencegahan terjadinya kejahatan atas nama Gank Motor.
Pak Sekda, anda berkata bahwa kondisi maraknya kejahatan di Bandung tidak lepas dari keberadaan Gank Motor yang sudah sejak lama mengkhawatirkan, karenanya Pak Sekda meminta Kepolisian menindak secara tegas bla bla bla.
Maaf Pak Sekda, saya kesal baca komentar Bapak, sungguh bukan cerminan seorang pemimpin. Gini ya Pak Sekda, kalau memang sudah lama mengkhawatirkan, lalu apa yang sudah dilakukan…?
Sebagai salah satu orang penting di pemerintahan, seharusnya yang Bapak sampaikan adalah solusi, bukan lempar tanggung jawab. Gank Motor sudah ada di Bandung sejak tahun 80-an, balapan liar di jalan Dago, atau bolak balik Bandung – Lembang dengan taruhan motor, sudah lama Pak, itu bagian dari budaya ‘Budak Bandung’.
Tanpa itu, tidak akan pernah muncul nama Popo Hartopo, tanpa itu jalan Dago tidak akan top seperti sekarang, tidak jadi super macet dan penuh dengan segala usaha yang dibuka di bangunan yang (dulunya) peruntukkannya adalah perumahan, rumah kaum elit kota Bandung.
Bapak mau melawan budaya…? Bapak mau mempersalahkan budaya…? Tidak bisa Pak, yang dapat Bapak lakukan adalah mengendalikan budaya yang berkembang ke arah yang baik.
Melawan budaya mungkin bisa dilakukan dengan penindasan, tapi konsekuensinya adalah adu kekuatan, gesekan keras, dan jatuhnya korban. Tapi jika dipilih jalan mengendalikan budaya, maka akan lain hasilnya.
Mengendalikan budaya dapat dilakukan dengan mempelajari sejarah, memahami budaya yang ada, mengkaji jalan keluar yang pernah diambil, kemudian memadukannya dengan situasi dan kondisi di wilayah yang akan dikendalikan, dengan cara ini gesekan yang timbul akan jauh kecil.
Jadi apa yang harus bapak-bapak lakukan…?
Berikut saran saya ya Pak.
—————–
Suku Sunda punya ‘tag line’ “silih asih, silih asah, silih asuh”, itulah yang seharusnya Bapak pahami dan kembangkan melalui RT, RW, Kelurahan, hingga Kecamatan, bukan malah silih sigeung. Kumpulkan semuanya, minta dukungan untuk melakukan identifikasi keberadaan anggota Gank Motor di masing-masing RT.
Selanjutnya kumpulkan orang tua mereka di pertemuan RW, dengan dihadiri Lurah dan Camat, tentunya didampingi Babinsa dan Babinkamtibmas atau Kapolsek di wilayah. Mohon bantuan orang tua untuk mengarahkan anak-anaknya, dan sampaikan bahwa sebagai pemerintah, yang diinginkan adalah semua hidup dalam damai, aman, tenang, dan tentram.
Sampaikan bahwa bila orang tua tidak mampu mengendalikan anak-anak mereka, maka pemerintah akan terpaksa mengambil alih dengan menggunakan kekuatan hukum. Tunjukkan bahwa data sudah ada di tangan, dan setiap yang terlibat dalam tindakan melawan hukum akan ditindak secara hukum.
Jadi, langkah yang harus diambil adalah langkah yang terkoordinasi dengan baik, didasarkan pada data, dan diikuti dengan kepastian bahwa pemerintah akan mengambil tindakan tegas secara hukum.
Selanjutnya, manfaatkan ruang publik, pasang spanduk sosialisasi yang merangkul, bukan memukul. Minta bantuan radio di Bandung untuk turut mensosialisasikan keseluruhannya, karena radio di Bandung adalah salah satu corong utama untuk hal apapun, mendengarkan radio adalah salah satu budaya masyarakat Bandung.
Lanjut, sediakan sarana prasarana untuk penyaluran hobi anak Bandung yang ‘Pembalap Tea’, buatkan sirkuit, buatkan lomba berkendara, lomba keterampilan beratraksi dll.
Keseluruhan hal di atas tidak akan menghabiskan dana 1 triliun, 10 milyar pun sudah jadi itu barang. Sediakan hadiah yang menarik, motor baru, tiket nonton Moto-GP, dll. Rangkul anak kita, kembangkan minat dan bakatnya, bukan dibunuh.
Jika anak nakal, yang salah orang tuanya, jika masyarakat muda tidak terkendali, yang salah pemimpin masyarakatnya, Bapak Bapak sebagai Pejabat Pemerintahan yang salah, bukan anak.
Proses pendataan, pertemuan dan sosialisasi melalui spanduk, poster, iklan radio, dll hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 2 minggu, jalankan hingga 1 tahun bila perlu.
Proses pembuatan sirkuit akan butuh waktu, tapi lomba berhadiah 1 bulan pun siap dilaksanakan.
Hasil akhir, tingkat kejahatan akan menurun drastis.
Fungsi Bapak Bapak duduk di pemerintahan adalah, mengatur, mengkoordinasikan, mengakomodir, mengapresiasi, mencarikan solusi, mengamankan, menenteramkan. Bukan buang badan, apalagi hanya mempersalahkan pihak lain tanpa langkah yang terstruktur, terkoordinasi, dan terukur dengan berbasis data, sejarah, dan budaya.
Semoga tulisan ini dapat membantu Kang RK sebagai junior yang saya banggakan, Pak Sekda dan pejabat lain yang hebat-hebat, untuk kembali mengkondusifkan Bandung, dan mengendalikan Bandung secara keseluruhan, aman, nyaman, dan tentram.
Roger P. Silalahi
Analis Keamanan Publik
—————–
(Mantan Urang Bandung, Masih Cinta Bandung)