Penistaan Agama, Mari Menggugat Kesetaraan, Menggugat Kesewenang-wenangan

Penulis: Roger P. Silalahi

Minggu lalu, tepatnya pada hari Selasa 6 Desember 2022 sekitar 10.30 ada 4 tamu datang ke rumah Gratia Victory A. Pelo, seorang youtuber yang dikenal dengan nama Gratia Pello, pemilik channel “Inyo Manis”.

Empat tamu yang datang tersebut ternyata dari Polsek Blimbing Kota Malang 2 anggota berseragam lengkap, sementara 2 orang lainnya berpakaian preman. Kedatangan mereka bermaksud menanyakan hal terkait konten YouTube Bapak Gratia Pello (GP 248) yang tayang di Channel “Inyo Manis”.

-Iklan-

Bapak Gratia Pello menjelaskan keseluruhan isi konten tersebut. Setelah penjelasan tersebut, pihak Kepolisian dari Polsek Blimbing kota Malang meninggalkan lokasi, karena tidak mendapati kesalahan dan unsur lain yang dapat dinyatakan sebagai kesalahan, dalam hal ini terkait penistaan agama sebagaimana yang rupanya menjadi dasar awal kedatangan mereka.

Sekitar 4 sampai 5 jam kemudian, datang lagi anggota Kepolisian dari Polresta Malang yang menyerahkan “Surat Permintaan Klarifikasi” dengan No. : B /4474/XII/2022/ Satreskrim yang mengundang Bapak Gratia untuk dimintai keterangan pada hari Jumat 9 Desember 2022, pukul 09.00 di unit III Tipidter Sat Reskrim, menemui penyidik atas nama AKP M.Roichan dan anggota.

Sampai sini, terlihat ada eskalasi penanganan pelaporan yang entah siapa pelapornya.

Belum lewat hari, sekitar pukul 20.30 WIB di hari Selasa yang sama, 6 Desember 2022, datang lagi anggota Kepolisian dari Polda Jawa Timur, Unit Kriminal Khusus sebanyak 29 (dua puluh sembilan) personil, dengan tujuan menjemput Bapak Gratia Pelo.

Sebagian anggota tersebut merangsek masuk ke dalam rumah, dan melakukan pengeledahan di rumah Bapak Gratia Pelo. Saat itu Bapak Gratia Pelo dan istrinya sedang keluar rumah, beli sate untuk makan malam. Di rumah tersebut hanya ada Ibu Mertua bersama anak bungsu Bapak Gratia Pello.

Dalam kaitan proses penggeledahan rumah tersebut, sempat terjadi pembentakan oleh salah satu polisi (AKP Supriyono, SH, MH., Panit 1 Subdit V Ditreskrimsus Polda Jawa Timur) terhadap Ibu Mertua dan anak bungsu Bapak Gratia Pello yang masih duduk di kelas 5 SD.

Kemudian datanglah Bapak Gratia bersama istrinya, dan terjadilah “Penjemputan Paksa” terhadap Bapak Gratia Pello, yang kemudian dibawa ke Polda Jawa Timur, Surabaya.

Dua hal yang “mengerikan” dari kejadian ini adalah;

  1. Tidak adanya Surat Perintah Penangkapan yang dapat ditunjukkan pada saat “Penjemputan Paksa” dilakukan
  2. Tidak adanya Surat Izin Penggeledahan, sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Penangkapan hanya dapat dilakukan dengan menunjukkan “Surat Perintah Penangkapan”, dimana untuk kasus sebagaimana yang dituduhkan (penistaan agama) dengan berpegang pada UU ITE, pada umumnya dilakukan dengan tahapan Surat Panggilan 1, lalu Surat Panggilan 2, baru jika tidak diindahkan akan dilakukan “Penjemputan Paksa” oleh pihak Kepolisian.

Sementara untuk dapat melakukan penggeledahan, diamanatkan oleh KUHP, yakni adanya surat izin dari Pengadilan.

Lanjut ke urusan Gratia Pello. Proses penangkapan selesai dilakukan sekitar jam 23:00, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan hingga pukul 09:00, dimana Bapak Gratia belum didampingi Pengacara.

Sebuah “keajaiban” terjadi, dalam waktu kurang dari 12 jam, Bapak Gratia Victory A. Pello resmi ditetapkan sebagai tersangka, dengan tuduhan melanggar pasal 156a UU ITE, yang berbicara mengenai “Penistaan Agama”.

Di sini tidak dibahas mengenai apakah Gratia Victory A. Pello melakukan penistaan agama atau tidak, tapi yang menjadi titik perhatian adalah proses hukum yang dijalankan. Hal seperti ini dengan mudah dilengkapi dengan surat sebagaimana diamanatkan hukum perundang-undangan, dengan mengeluarkan surat “back dated”, atau dikeluarkan pada hari yang sama, tapi tidak ditunjukkan saat melakukan penangkapan dan penggeledahan. Saat hal ini dilakukan, sesungguhnya aparat Kepolisian, aparat penegak hukum, sedang melakukan kesewenang-wenangan, sedang berubah wujud dari “penegak hukum” menjadi “penguasa hukum”, tidak baik untuk masyarakat, tidak baik untuk Indonesia, tidak berintegritas, dan harus ditindak/dilawan.

Penerapan hukum di Indonesia sering (jika tidak selalu) berjalan timpang, entah itu karena unsur posisi, koneksitas, ras, atau agama, atau uang, tapi jelas kita saksikan di depan mata kita.

Tidak perlu kita membahas bentuk dari berbagai pembedaan yang dilakukan aparat hukum di Indonesia. Semua tahu dan dapat menilai sendiri bagaimana perlakuan  dan penindakan terhadap Abdul Somad, Bachtiar Nasir, Felix Siauw, atau Riziek Shihab, jelas sangat berbeda dengan perlakuan terhadap M Kace, dan sekarang kita saksikan lagi pembedaan, atau dapat dikatakan penyimpangan diberlakukan terhadap Bapak Gratia Victory A. Pello.

Agama mayoritas tidak punya hak lebih dalam bentuk apapun, tidak boleh mendapatkan perlakuan yang berbeda dari aparat penegak hukum.

Tahapannya harus sama, dan setiap penyimpangan prosedur, pelanggaran SOP, harus ditindak, tidak peduli apakah Anggota, Panit, atau Kapolda, tidak peduli Jaksa, Panitera, atau Hakim. Aparat penegak hukum memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dengan masyarakat biasa, mereka hanya memiliki legitimasi untuk menindak sesuai dengan hukum dan undang undang yang berlaku, bukan sesuai dengan keinginan pribadi, dan mereka bukan “Penguasa / Pemilik Hukum”.

Kita pantau terus dan dukung penegakkan hukum dan undang-undang di Indonesia yang berazaskan kesetaraan, tanpa unsur SARA, tanpa kesewenang-wenangan, tanpa uang. Mari amankan diri kita, keluarga kita, lingkungan kita, Indonesia kita, dari segala bentuk pelanggaran hukum. Kita kembangkan sikap “Jangan Takut LAPOR Polisi, Jangan Takut LAPORKAN Polisi, Jangan Takut Laporkan Aparat Yang Menyimpang”.

Roger Paulus Silalahi
Analis Keamanan Publik

7 COMMENTS

  1. Bkn cm prosedur penangkapan dst. Dlm hal besarnya hukuman juga nampak timpang. Silahkan bandingkan antara Y Waloni dg M Kace.

    Yesus adl jalan dan kebenaran dan hidup.

  2. Roger Paulus Silalahi, Analis Keamanan Publik membahas aspek hukum. Mari kita dengarkan pendapat pengacara praktisi hukum Bobson Simbolon yang juga aktifis sosial sekaligus berapologet. Subyektifitas penulis sangat kental dalam artikel ini.

  3. Berita yang tidak kredibel. Sumber tidak jelas, seperti hanya sebuah asumsi, data tidak lengkap, kronologi yang dibangun tanpa dasar, tidak membangun fakta dikuatkan data.

    Menyedihkan…
    Paling tidak kepolisian dijadikan sumber data…
    Pernyataan mertua di kutip…
    Pernyataan istri dikutip….
    Pernyataan Tersangka di kutip…

    Berita kok tidak standar…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here