Penulis: Andre Vincent Wenas
Ada 2 RUU yang boleh dibilang sebagai konsep Undang-Undang Anti Korupsi: RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
Tentang RUU Perampasan Aset Prof. Mahfud MD (13/10/2022) jelas mengatakan, “Agar orang tidak berani korupsi juga, karena kalau korupsi lalu menjadi tersangka apalagi terdakwa, nanti sebelum putusan, sita dulu nih dugaan-dugaan korupsinya. Orang takut melakukan itu karena orang korupsi itu pada dasarnya takut miskin sebenarnya.”
Lalu tentang RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal atau pemakaian uang cash Prof. Mahfud MD (20/10/2022) juga bilang, “DPR itu menolak UU tentang pembelanjaan uang tunai, karena mereka katakan terus terang, kalau politik tidak bawa uang tunai nggak bisa katanya,” lalu sambungnya, “Ke rakyat itu kan kalau kampanye atau berkunjung ke mana kan harus eceran. Bawa amplop, bawa apa gak bisa lewat bank. Sehingga (RUU) itu mutlak ditolak.”
Ya, pada dasarnya koruptor itu takut miskin, atau dimiskinkan, lantaran asetnya bisa langsung disita saat ia jadi tersangka, tak perlu tunggu putusan (vonis) hakim. Lalu untuk menghindari penelusuran oleh PPATK maka politik uang (money politics) selalu pakai uang cash, uang kertas kontan (uang kartal istilahnya). Entah itu denominasi rupiah maupun dollar. Dulu istilahnya pakai “Apel Malang” (rupiah) atau “Apel Washington” (dollar).
Begitu efektifnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (Korupsi) itu dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal sehingga ditakuti oleh para koruptor. Dan… kedua RUU ini ditolak oleh DPR-RI, mengapa? Apakah DPR-RI itu koruptor? Begitu khan pertanyaan logis yang langsung muncul di benak orang-orang waras? Pertanyaan yang sesungguhnya sangatlah lumrah.
Faktanya, KPK dan PPATK juga sudah mendorong terus disahkannya RUU itu sejak lama. Tapi kenapa mentoknya di parlemen?
Pengakuan dari anggota DPR-RI sendiri yang diwakili Bambang Wuryanto (atau Bambang Pacul) yang bilang, “Ini kenapa macet di sini, DPR keberatan, hampir pasti karena ini menyulitkan kehidupan kami. Kita ngomong jujur, Pak, mengenai politik mau dipakai ini (uang). Ini saya cerita sama dikau, yang namanya kompetisi cari suara pakai ini (uang) semua. Gue terang-terangan ini di lapangan, mana cerita, Anda minta (RUU) ini, besok kalau saya beli sembako bagaimana,” lalu pungkasnya, “Saya pastikan yang kayak begini nanti DPR susah, sudah masuk prolegnas boleh, tapi nanti masuk prolegnasnya nanti diletakin di bawah terus.”
Walah, jadi memang sumbatannya ada di para wakil rakyat kita sendiri ya. Jadi bagaimana?
Kita teringat kebijaksanaan ini: Hasil yang baru tidak mungkin dicapai melalui cara lama! Mau tidak mau parlemen kita mesti diisi darah baru, perlu cuci darah! Bersih-bersih DPR-RI tidak boleh berhenti jadi jargon semata. Rakyat mesti bertindak, lantaran itu memang pilihan rakyat sendiri.
Memang tidak mudah menjalankan hal yang baru. Banyak dari kita yang sudah “terbius” dengan sikap “pemberhalaan” (idolatry) terhadap partai politik tertentu. Parpol diperlakukan sebagai “benda suci” yang secara fanatik buta dibela meski ulahnya sudah keterlaluan. Pandangan jernih (rasional) jadi kabur oleh candu-politik macam begini.
Menuju Pemilu Serentak itu tidak lama lagi, saat pileg (pemilihan legislatif) sebagai pengimbang kekuasaan eksekutif bakal diselenggarakan pada 14 Februari 2021. Ini momen penting bangsa untuk pembaharuan politik.
Bangsa Indonesia perlu detoksifikasi (pembersihan racun-racun di tubuh) dari candu-candu politik yang selama ini membius, mengekang, bahkan menyandera kesadaran politik yang jernih, matang dan bertanggungjawab.
25/10/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.