Penulis: Ganda Situmorang
Dalam satu korporasi, antara pemilik legal (legal owner) dan pemilik manfaat (beneficial owner) kemungkinan orangnya bisa berbeda. Beneficial owner atau pemilik manfaat bisa saja secara sengaja disembunyikan atau disamarkan baik untuk alasan yang legal maupun illegal.
Dalam Puppet Masters (2011), buku hasil kajian yang diinisiasi StAR (Stollen Asset Recovery Initiative) bersama World Bank dan UNODC, disebutkan bahwa perusahaan dan badan hukum lainnya yang dimiliki dan dikendalikan secara diam-diam memainkan peranan signifikan dalam proses pemindahan dan pencucian dana korupsi.
Dalam survei World Bank terhadap 200 lebih kasus korupsi besar di dunia, 70% diantaranya melibatkan politikus korup yang memanfaatkan perusahaan cangkang untuk menutupi identitas asli mereka.
Dalam perspektif penegakan hukum, informasi Beneficial Ownership (BO) merupakan gerbang awal bagi aparat penegak hukum meningkatkan efektifitas pelacakan dan pengungkapan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dalam skandal Panama Papers terungkap pihak-pihak yang ingin menghindari pajak dengan menyamarkan kepemilikannya dalam korporasi. Jika transparansi pemilik manfaat korporasi diterapkan, manfaat langsungnya adalah mengoptimalkan pemasukan negara lewat pajak. Subjek pajak yang sebelumnya tersembunyi lewat topeng BO bisa diidentifikasi.
KPK telah menemukan sejumlah kasus penyalahgunaan BO perusahaan sebagai kendaraan melakukan TPPU.
Kasus Nazaruddin -setidaknya ada 38 perusahaan digunakan mantan bendahara partai politik ini untuk menyamarkan dan menyembunyikan uang hasil kejahatannya.
Kasus e-KTP, perusahaan asing ikut digunakan untuk menyamarkan aliran uang hasil korupsi dari mega proyek ini. Bagi aparat penegak hukum, transparansi BO menjadi sangat penting untuk memaksimalkan pengungkapan kasus TPPU sekaligus pemulihan aset melalui perampasan aset koruptor ketika RUU perampasan aset sudah disahkan.
Sejak Tahun 2015, KPK selaku focal point untuk G20 Anti-Corruption Working Group (ACWG) telah mengkoordinasikan Kementerian/Lembaga terkait dan menghasilkan rencana tertulis yang telah disampaikan pada G20 ACWG 2015. Pada tahun 2016-2018 KPK melakukan kajian untuk mendorong transparansi BO. Rekomendasi KPK adalah penguatan legal framework, pembentukan Sistem Pengelolaan Administrasi Korporasi, hingga diseminasi keterbukaan informasi publik (KIP).
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme merupakan titik awal untuk mewujudkan transparansi pemilik manfaat di Indonesia.
Perpres ini bertujuan untuk melindungi korporasi dan pemilik manfaat yang beritikad baik; untuk kepastian hukum atas pertanggung jawaban pidana; untuk efektivitas penyelamatan aset (asset recovery).