Penulis: Nurul Azizah
Tulisan ini muncul setelah ada oknum santri NU yang copy-paste tulisan penulis tanpa mencantumkan nama penulis. Sontak saja penulis kaget, karena tulisan tersebut muncul di beranda Facebook penulis. Ternyata pelakunya sudah berteman di FB, spontan saja, penulis komen di bawah tulisan tersebut, “Kok dihilangkan nama penulisnya.”
Menurut penulis, kalau mau copy-paste tulisan ya secara lengkap, jangan dihilangkan nama penulisnya.
Diingatkan malah sewot, bukannya minta maaf malah semakin menjadi-jadi sewotnya.
Santri tersebut membalas dengan komen : “Kalau tidak berkenan saya copas ya postingan saya hapus.”
Penulis hanya diam, dalam hati berkata, ini ada orang ngakunya santri, copas tulisan sudah tidak mencantumkan nama penulisnya, diingatkan malah ngajak padu (bertengkar).
Benar saja, postingan tulisan yang tidak mencatumkan nama penulis dihapus dari lini masanya.
Kemudian penulis di inbox, penulis digurui, “Mohon maaf, jika berjuang demi tegaknya kebenaran jangan pake pengakuan mbakyu, banyak kawan-kawan saling copy paste. Kalau berjuang butuh pengakuan, baiknya jangan bernarasi.
Inbox tersebut penulis biarkan tidak dibalas, nanti malah tambah marah dan tentunya akan terjadi debat yang panjang, penulis menghindari debat di medsos.
Penulis memaafkan santri tersebut, karena dia sudah menulis kata “maaf” dan sudah cooling down.
Akhirnya penulis menjawab inbox tersebut, “Ya dimaafkan, lain kali jaga etika, tulisan siapapun cantumkan sumber penulisnya.”
Malah santri tersebut tambah sewot dengan membalas, “Pean main sosmed berapa lama? Sebelum ada HP saya sudah punya FB mbak, orang-orang seperti pean itu memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan pribadi. Model seperti ini tidak akan pernah diridhoi Allah dan para wali.”
Ya Allah penulis cuma mengingatkan kalau copas tulisan orang itu tolong cantumkan nama penulisnya, malah jawabannya ngalor ngidul dengan kata-kata sangat menyakitkan.
Capek dan males melayani oknum santri tersebut. Penulis sudah memaafkan dan mempersilahkan tulisan di-share. Tapi malah tambah marah.
Itulah pentingnya belajar ilmu akademis dan semua ilmu, selain ilmu agama di pondok pesantren. Jangan merasa orang santri, pondokan, belajarnya hanya agama saja. Padahal kiai-kiai di pondok pesantren selalu menekankan: Beradab dulu baru berilmu.
Adab dulu baru berilmu, itulah yang seharusnya dilakukan oleh pencari ilmu. Baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum (eksakta dan non eksak).
Jangan sampai terlalu banyak menggeluti ilmu diin sampai lupa mempelajari adab. Belajar teori tauhid, Qur’an hadis, fikih, akidah akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, Nahwu, shorof, dan lain-lain ilmu agama tapi perilakunya jauh dari apa yang diajarkan para guru, kiai dan ulama. Padahal para ulama sudah mengingatkan siapapun santri tidak boleh meninggalkan masalah adab.
Jika hanya belajar ilmu agama di pondok masih banyak kurangnya. Belajarlah ilmu agama disertai ilmu-ilmu lainnya. Contohlah para sesepuh ulama-ulama NU.
Banyak ulama-ulama NU menuntut ilmu agama juga ilmu lainnya. Penulis kasih contoh ulama yang paling ideal dan paripurna ilmunya, seperti Dr. (H.C) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma’arif, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. KH. Said Agil Siroj, Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, dan masih banyak yang lainnya.
Ulama-ulama khos NU yang paling ideal dan paripurna ilmunya seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Simbah KH. Asy-Syekh Kholil Bangkalan, Mbah Maimoen Zubair, Habib Hasyim bin Yahya, Habib Luthfi bin Yahya dan masih banyak yang lainnya.
Jika hanya belajar di pondok pesantren tanpa mau belajar semua ilmu yang ada, ya ilmunya masih amat sangat kurang.
Bagi yang mendewa-dewakan ilmu fiqih pasti akan merasa sudah cukup. Sayangnya mereka tidak hanya sampai pemahaman bahwa ilmu fiqih tidak bisa berdiri sendiri tanpa semua ilmu yang ada.
Jadi santri itu jangan suka marah, suka sewot sendiri, jadilah seperti Gus Dur atau Cak Nun (Ehma Ainun Nadjib).
Gusdurian dari Gus Dur masih hidup, jika Gus Dur dihina dan lain-lain tidak pernah ada drama kriminalisasi ulama, atau bilang “penistaan agama” dan lain-lain, padahal zaman itu, Gus Dur difitnah, dihina dan dimaki-maki. Tapi Gus Dur tetep diam. Orang yang pernah dholim ke Gus Dur, satu persatu dibalas oleh Allah SWT dengan ganjaran yang setimpal.
Begitu juga anak maiyahan, mau puluhan atau jutaan kali Cak Nun dihina tidak masalah. Tidak pernah bikin drama yang banyak serinya atau lanjutannya.
Hati-hati saja, saat ini banyak orang atau ormas yang mengaku NU, tapi NU-nya rasa-rasa. Ada NU rasa FPI, rasa Wahabi, NU rasa takfiri, rasa PKS dan lain-lain.
Hal ini yang perlu diwaspadai, ngakunya NU tapi suka tersinggung, suka marah, suka menghina orang NU lainnya.
Jadilah santri NU yang berbesar hati, legowo dan ikhlas apabila dikasih masukan terima saja tanpa harus sewot dan maki-maki. Tirulah ulama-ulama NU, selalu berlapang dada menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun dan penuh visioner.
Nurul Azizah, penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi”, minat hub. SintesaNews.com 0858-1022-0132.