Kebijakan Publik

Penulis: Ganda Situmorang

Selalu ada cerita awal, dasar atau alasan tertentu ketika sebuah kebijakan diputuskan.

‘Basuki Tjahaya Purnama, Kebijakan Ahok, 2018.’

-Iklan-

Satu kalimat singkat di atas dikutip dari kalimat pembuka alinea pertama dari Prakata buku Kebijakan Ahok, yang dituliskan sendiri oleh Bapak Basuki Tjahaya Purnama (BTP) di Jakarta, Juni 2018.

Satu kalimat singkat, padat dan jelas rasanya bisa merangkum puluhan halaman kutipan literasi tentang kebijakan publik yang menjadi topik dari refleksi ini.

Prinsip kebijakan BTP adalah semua harus bikin penuh otak, perut dan dompet warga. Tolak ukurnya jelas mau melakukan apa, mau membuat apa dan mau keluar uang untuk apa aja disertai visi dan misi.

Visi kebijakan diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan Misi diukur dengan kinerja PNS melalui indeks performance indicator-nya.

Bagaimana cara membangun public awareness terhadap kebijakan yang akan diusulkan?

Pertanyaan di atas rasanya keliru jika mengikuti prinsip-prinsip pengambilan kebijakan BTP-way di atas. Ketika ada satu isu yang menyangkut kepentingan publik, sedang menjadi perhatian publik, akar masalah yang sudah mengkristal maka otomatis kesadaran publik sudah terbentuk sejak cerita awal, dasar atau alasan sebuah kebijakan diputuskan.

Lain hal ketika isu yang mau diformilkan bersifat kepentingan elitis, titipan kelompok atau golongan tertentu, kepentingan politik konstituen daerah pemilihan maka tentu proses membangun kesadaran publik menjadi seolah penting dilakukan padahal seyogianya adalah penggiringan opini.

Ambil contoh kasus, ketika Gubernur BTP membangun Simpang Susun Semanggi, sama sekali tidak perlu upaya membangun kesadaran publik karena memang sudah ada cerita awal yang jelas untuk kepentingan publik. Sehingga alih-alih membangun kesadaran publik terhadap sebuah kebijakan, adalah lebih tepat membangun kesadaran publik terhadap sebuah isu, permasalahan atau pelayanan publik agar supaya publik lebih peduli, terlibat aktif sebagai subjek dalam tata kelola pelayanan publik.

Partisipasi publik adalah satu pilar tata kelola yaang baik dari pelayanan publik.

Tata kelola yang baik dalam pelayanan publik mengikuti norma Keterbukaan (transparansi), pelibatan publik (partisipatif) dan akuntabilitas.

Pelibatan publik dibangun dengan membuka ruang bagi akademisi dan lembaga swadaya masyarakat berpartisipasi dan menyampaikan aspirasi pada seluruh proses bisnis kebijakan. Aplikasi digital Qlue yang dibangun oleh Gubernur BTP di Jakarta adalah salah satu contoh nyata pelibatan publik.

Komponen utama kebijakan publik adalah Sumber Daya Manusia (SDM) dan sistem. Berbagai instrumen digital untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja SDM maupun Sistem terbukti bisa menciptakan kebijakan yang ramah dan tepat bagi seluruh rakyat.

Bagaimana memastikan penyaluran anggaran yang tepat dan kebijakan publik baik yang telah dibangun bisa berkesinambungan?

Siklus pergantian penguasa politik 5-10 tahun dengan biaya politik yang tinggi menjadi ancaman kesinambungan tersebut. Residu demokrasi berupa tekanan imbal balik investasi politik bisa saja menghentikan kebijakan yang baik tersebut.

Perencanaan penganggaran sampai eksekusi pembayaran kontraktor pengadaan bisa kembali ke titik nadir ketika terjadi pergantian penguasa politik dengan hutang mahar akibat biaya politik yang harus dikembalikan sehingga ingkar janji dan tidak amanah kepada kepentingan seluruh rakyat.

Beberapa opsi mengurangi resiko penguasa politik yang tidak amanah; Menekan biaya politik tinggi supaya pejabat BTP bisa duduk di kursi legislatif dan eksekutif; Pendanaan partai dengan fasilitas pembiayaan dari negara; Inisiatif Yayasan BTP dengan program Mencari Pemimpin Baru (MPB) dan lain-lain.

Balikpapan, 10 September 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here