Penulis: Amroeh Adiwijaya (*)
Tidak mudah bagi seorang alumnus Gontor seperti saya untuk menulis tragedi kematian santri Gontor akibat tindak kekerasan internal yang viral akhir-akhir ini.
Karena niscaya akan menuai kecaman, baik tulisan adil tak berpihak apalagi sebaliknya.
Betapa tidak, dari perbincangan singkat di WAG yang saya ikuti (saja) telah nampak, banyak yang menyatakan sebaiknya topik itu distop karena akan menjatuhkan nama baik Gontor, namun banyak juga yang menyatakan agar terus dibuka untuk menemukan titik terang yang justeru demi mencapai marwah mulia Gontor sesungguhnya.
Dan seiring kejayaan medsos terkini yang terakhir itu yang tak terbendung.
Sebagai gelegar karena Gontor terlambat menyampaikan info: 22 Agustus 2022 tanggal kematian dan dua pekan kemudian, tanggal 5 September 2022/sehari setelah diviralkan pengacara Hotman Paris Hutapea baru Gontor mengeluarkan statement, maka info miris yang tak terbendung kepada publik adalah langkah sangat mencolok dan nampak tolol berupa kata-kata dari pengantar jenazah kepada keluarga korban di Palembang bahwa korban meninggal dunia karena terjatuh kecapekan, dan setelah didesak dengan keras oleh orang tua korban baru mengatakan terus terang bahwa korban meninggal karena tindak kekerasan oleh sesama santri.
Maka tidak heran muncul kegeraman awam, “mbokyo cerdas dikit napa, mosok alibi mirip Irjen Sambo yang gagal diterapkan Brigjen Hendra Kurniawan sewaktu mengantarkan jenazah/bertemu keluarga Brigadir Joshua itu diulang lagi!? Maka usut, siapa oknum pelaksana itu dan siapa oknum penyusun skenario?!”.
Ada satu opini analisis menarik,
mengapa tindak kekerasan itu terjadi? Yaitu dengan hitung-hitungan luas area, karena lingkungan yang tidak memadai. Luas area Gontor Satu yang terbatas yang awalnya dihuni 2000-an, kemudian kini menjadi 7000-an santri, tentu menyebabkan penghuninya sumpek, gerah dan emosian. Apa demikian?
Banyak sebab bisa terjadi, namun (selain kematian adalah takdir!) yang utama adalah pihak Gontor kurang antisipatif, apalagi era kini di mana “maling jauh makin pinter ketimbang Polisi”, kejadian serupa banyak terjadi di tempat lain dengan banyak motif, dan medsos pun makin canggih.
Sebelum tragedi ini, ternyata tindak kekerasan, meski kecil, masih sering terjadi di Gontor padahal sering saya dapat jawaban dari teman-teman ex santri bahwa “kekerasan” sudah tidak ada, alias dilarang, yang beda dengan masa saya nyantri di sana.
Dengan kejadian tragis ini tak ada cara lain, rombak, larang dan usir siapapun yang bertindak kasar meski dalam bentuk “buk-buk” suara ayunan sajadah pada bokong-bokong waktu membangunkan tidur santri, karena dari tindakan yang nampak sederhana itu mampu merembet pada yang lebih sadis.
Sebagai penutup, kepada siapapun selayaknya tidak membully opini-opini yang bernada kritis bahkan kepada yang meminta agar dalam kasus ini hukum ditegakkan dengan adil, karena sejatinya bisa dinilai sebagai positif dan mencerahkan, demi Gontor yang lebih baik.
Sekali lagi saya ungkapkan turut belasungkawa atas meninggalnya santri Albar Mahdi Palembang, dan keluarga diparingi sabar dan tabah.
Insya Allah almarhum syahid karena meninggal saat menuntut ilmu, amin.
Gresik, 6 September 2022.
(*)
– amroehadiwijaya@gmail.com
– Penulis novel OPERA VAN GONTOR (Gramedia 2010).