Penulis: Wawan Soehardi
5 Agustus 2022
Berbahaya, mengerikan, sangat terorganisasi, tersistem, terstruktur secara berjenjang hierarkis, dan terkomando, wajar menjadi kesan di mata publik yang sulit dielakkan, dalam menilai upaya oknum-oknum kepolisian yang berusaha menghilangkan barang bukti, mengaburkan jejak tindak pidana di TKP pada kasus tewasnya Brigadir Joshua Hutabarat.
Dugaan tindak kejahatan oleh oknum-oknum penegak hukum yang tidak hanya terorganisasi namun juga tersistem, terhierarki serta menyalahgunakan sistem komando telah diduga dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum kepolisian dalam upaya menutupi sebuah tindak kejahatan pembunuhan.
Pernyataan Kabareskrim Komjen Agus Adriyanto yang tidak akan segan-segan menindak tegas 25 polisi ke dalam ranah pidana jika terbukti melakukan tindakan penghilangan alat bukti kasus kematian Brigadir Joshua, tentu adalah bukan hal yang main-main.
Sementara Kapolri Jenderal Listyo Sigit telah menahan 4 orang polisi yang diduga menghilangkan barang bukti.
Malam ini ada 4 orang yang kita tempatkan di tempat khusus selama 30 hari, demikian ujar Kapolri Jenderal Listyo Sigit, 4 Agustus 2022. Listyo juga menyatakan telah mengantongi alat-alat bukti yang diduga telah dihilangkan.
Profesor Hermawan Sulistyo kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara seperti dikutip dari Kompas TV, 4 Agustus 2022, menjelaskan alasan Polri tidak cukup kuat untuk menjerat pasal 338 KUHP terhadap Irjen Ferdi Sambo, sebab kata dia, tempat kejadian perkara TKP Brigadir J di rumah dinas Kadivpropam Polri Irjen Ferdi Sambo diduga telah dibersihkan.
Profesor Hermawan menduga Kombes Budhi Herdy Susianto yang membersihkan TKP pembunuhan Brigadir J saat masih aktif menjabat Kapolres Metro Jakarta Selatan.
Hermawan mengungkapkan salah satu barang bukti yang hilang adalah telepon seluler atau ponsel milik Brigadir J. Sementara yang disita penyidik disebut Hermawan masih baru semua.
Memprihatinkan bahwa upaya penghilangan, merusak dan menghapus barang bukti tindak pidana tersebut dilaksanakan secara berjenjang, terhierarki, terstruktur, tersistem dan sulit dikatakan tidak terkomando oleh penegak hukum sendiri.
Polri secara institusional telah diduga disalahgunakan sistemnya dan dirusak komando dan organisasinya oleh oknum-oknum yang mempergunakan pangkat jabatannya untuk tindakan melawan hukum dalam hal tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir Joshua.
Coba bayangkan; pada tahap awal ini saja terduga dalam upaya penghilangan barang bukti tindak pidana ini sudah mencapai 25 orang polisi dari berbagai pangkat dan jabatan yang melibatkan berbagai divisi, mulai divisi Propam, Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Selatan, INAFIS, Reskrim dan mungkin nanti akan disusul forensik serta jumlah personel yang diduga terlibat akan mungkin bertambah lagi.
Bahwa pengaruh hierarki, jabatan, kedekatan, komando dan pangkat sangat kental mewarnai upaya menutupi dan mengaburkan tindak pidana pembunuhan ini, menjadi kesan publik luas.
Dalam satu contoh kasus ini, sulit untuk tidak dikatakan bahwa sejenis sistem “sindikat mafioso” yang sangat patuh terhadap perintah, hierarki pangkat jabatan, kedekatan dan jiwa korsa salah kaprah, telah lahir di tubuh Kepolisian Republik Indonesia yang dipergunakan untuk kegiatan melawan hukum oleh penegak hukum itu sendiri dalam hal ini Polri.
Padahal upaya menghilangkan, merusak, mengaburkan, menghalang-halangi dan merekayasa barang bukti oleh hanya seorang penegak hukum adalah tindakan serius pelanggaran hukum berat yang tidak bisa dimaafkan di mata hukum.
Lalu bagaimana jika tindakan melawan hukum menghalang-halangi, merusak atau merekayasa barang bukti serta tempat kejadian perkara tersebut dilakukan oleh sekelompok penegak hukum kepolisian secara terorganisasi, tersistem yang melibatkan banyak divisi serta jenjang kepangkatan jabatan?
Mengerikan sekali jika penegak hukum telah tercemari oleh semacam “sindikat mafioso” demi kepentingan tertentu yang melawan hukum yang jika dibiarkan akan segera terjadi kiamat penegakan hukum.
Jika kasus ini tidak “kebetulan” terbuka ke publik dan mendapat kontrol yang kuat, maka kejahatan yang dilakukan oleh oknum penegak hukum yang diupayakan ditutupi oleh oknum penegak hukum lainnya secara bersama-sama, terorganisasi, terkoordinasi dan terencana secara licik menjadi kebiasaan yang dibenarkan dan menjadi preseden pembenaran berikutnya
Kita perlu bersyukur bahwa kasus tersebut menjadi terbuka dan menjadi perhatian publik.
Jika kasus itu tidak pernah dibuka dan mendapatkan tekanan publik, maka potensi “sindikat Mafioso” di tubuh polri akan berpotensi terpelihara serta aman-aman saja.
Perlu agar segera dipikirkan, dibuatkan regulasi untuk memagari agar potensi lahirnya “Sindikat Mafioso” tidak akan pernah lahir di tubuh Polri dan jika perlu disertai ancaman hukuman yang berat.