SintesaNews.com – Seorang siswi SMAN 1 Banguntapan, Bantul, dibully di sekolah karena dipaksa memakai jilbab, bahkan oleh para gurunya. Hal ini diungkapkan oleh orang tua murid sekolah tersebut.
Akibat perundungan dan intimidasi oleh para pengajar yang semestinya menjadi pendidik yang baik, kini siswi yang dibully karena tidak memakai jilbab, mengalami trauma psikologis.
Melihat kondisi fenomena gunung es ini -yang tampak di permukaan hanya secuil dari fakta sebenarnya- pemaksaan dan intimidasi kepada para siswi untuk memakai jilbab, Gus Wal pun menanggapi keras.
Ketua Umum PNIB (Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu) ini mengatakan, “Tak boleh ada pemaksaan penggunaan simbol ataupun seragam agama di sekolah negeri, karena hal tersebut merupakan sebuah penjajahan di era modern seperti sekarang.”
Pria yang bernama lengkap AR. Waluyo Wasis Nugroho ini menambahkan, “Sekolah Negeri dan guru wajib mentaati peraturan penggunaan seragam sekolah sesuai aturan negara, bukan memaksakan murid/siswa harus menggunakan jilbab di sekolah-sekolah negeri.”
“Di sekolah negeri murid/siswi yang ingin berjilbab diperbolehkan namun bukan dipaksakan ataupun dipersekusi oleh pihak sekolah ataupun guru. Jika itu terjadi maka termasuk penjajahan dalam sistem pendidikan,” tegas Gus Wal.
“Pemaksaan dan Perundungan kepada pemakaian simbol dan atribut tertentu adalah kejahatan kemanusiaan dan bertentangan dengan undang-undang,” terang Gus Wal.
“Yang mau berjilbab juga silahkan, karena memang diperbolehkan namun jangan dipaksakan apalagi kalau dipaksa memakai busana yang sangat tertutup seperti budaya Israel,” pungkasnya.
Baca juga:
PNIB: Negara Tak Boleh Kalah, Pecat ASN dan Tenaga Honorer Pro Khilafah di Kementrian, BUMN dan BUMD
Perundungan, Intimidasi Wajib Jilbab SMAN 1 Banguntapan, Bantul
- Sebelumnya diketahui di SMAN 1 Banguntapan Bantul, terjadi perundungan dan intimidasi kepada siswi untuk memaksa mengenakan jilbab di sekolah. Begini pengakuan ortu murid tersebut.
Nama saya, Herprastyanti Ayuningtyas, seorang ibu, perempuan Jawa, tinggal di Yogyakarta, yang sedang sedih dengan trauma, yang kini dihadapi putri saya, dampak dari memperjuangkan hak dan prinsipnya.
Putri saya adalah anak yang jadi perhatian media di sekolah di SMAN1 Banguntatapan, Bantul. Bagi kami orang tuanya, dia bukan anak yang lemah atau bermasalah. Dia terbiasa dengan tekanan. Saya dan ayahnya bercerai namun kami tetap bersama mengasuh anak kami. Dia atlit sepatu roda. Dia diterima di SMAN1 Banguntapan 1 sesuai prosedur.
Pada Selasa, 26 Juli 2022, anak saya menelepon, tanpa suara, hanya terdengar tangisan. Setelahnya baru terbaca WhatsApp, “Mama ak mau pulang, ak ga mau dsni.”
Ibu mana yang tidak sedih baca pesan begitu? Ayahnya memberitahu, dari informasi guru, bahwa anak kami sudah satu jam lebih berada di kamar mandi sekolah.
Saya segera jemput anak saya di sekolah. Saya menemukan anak saya di Unit Kesehatan Sekolah dalam kondisi lemas. Dia hanya memeluk saya, tanpa berkata satu patah kata pun. Hanya air mata yang mewakili perasaannya.
Awal sekolah dia pernah bercerita bahwa di sekolahnya “diwajibkan” pakai jilbab, baju lengan panjang, rok panjang. Putri saya memberikan penjelasan kepada sekolah, termasuk walikelas dan guru Bimbingan Penyuluhan, bahwa dia tidak bersedia. Dia terus-menerus dipertanyakan, “Kenapa tidak mau pake jilbab?”
Dalam ruang Bimbingan Penyuluhan, seorang guru menaruh sepotong jilbab di kepala anak saya. Ini bukan “tutorial jilbab” karena anak saya tak pernah minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan.
Saya seorang perempuan, yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri.
Kini anak saya trauma, harus mendapat bantuan psikolog. Saya ingin sekolah SMAN1 Banguntapan, pemerintah Yogyakarta, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bertanggungjawab. Kembalikan anak saya seperti sediakala.
Beberapa guru menuduh putri saya punya masalah keluarga. Ini bukan masalah keluarga. Banyak orang punya tantangan masing-masing. Guru-guru yang merundung, mengancam anak saya, saya ingin bertanya, “Punya masalah apa Anda di keluarga sampai anak saya jadi sasaran? Bersediakah bila kalian saya tanya balik seperti ini?
Herprastyanti Ayuningtyas
Email: ayu_chayon@yahoo.com
Baca juga: