Penulis: Andre Vincent Wenas
Keberadaan kita bersama dengan orang lain (inter-homines esse) seyogianya menjadi pusat kegiatan berpikir politik (filsafat politik). Singkat cerita, politik sejatinya berada di ruang bersama yang lain, alias ruang publik (forum publicum).
Berbeda dengan urusan rumah tangga (oikos-nomos) yang pada instansi pertamanya adalah urusan di ruang privat (forum privatum). Urusan Oikos Nomos (atau lebih dikenal sebagai Ekonomi) bisa menjadi urusan publik tatkala masuk ranah kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingan kesejahteraan bersama (bonum commune), artinya ya masuk ke ranah politik juga.
Oleh karena itu ketika kita bicara soal politik maupun derivatifnya seperti partai politik misalnya, maka itu adalah pembicaraan yang seyogianya merupakan wacana publik juga. Suprastruktur politik dipengaruhi oleh infrastrukturnya, termasuk diantaranya adalah partai politik beserta segala tingkah lakunya (political behavior).
Maka dalam percakapan di ruang publik yang sehat, cerdas dan oleh lantaran itu bisa mencerahkan, actus saling menganalisis bahkan mengritik perilaku partai politik manapun oleh setiap warga negara (citizen) itu bisa dan diperbolehkan. Artinya siapa pun bebas untuk menyampaikan pendapatnya di ruang publik.
Maka logikanya, sebagai bagian dari infrastruktur politik, partai maupun kader-kadernya bisa, boleh dan berhak untuk menyampaikan analisis dan pendapatnya tentang “situasi perpolitikan” yang sedang terjadi. Termasuk political-behavior yang dilakukan parpol di seberang jalan. Kenapa begitu? Ya sekali lagi urusan politik adalah urusan publik. Tinggalah diperlukan kedewasaan serta kematangan dalam menyikapinya.
Maka tidak bisa, dalam urusan politik yang mempengaruhi umum, seseorang menanggapi sebuah pendapat dengan berkata semena-mena, “Hei, tak usah mancampuri urusan partai kami, urus saja partaimu!.” Padahal kelakuannya itu bakal berpengaruh pada konstelasi perpolitikan pada umumnya. Berdampak pada publik.
Begitulah secara sederhana kita menjelaskan tentang politik yang eksistensi atau keberadaannya –sejatinya– terletak di ruang publik. Maka –sekali lagi– publik pun jadi bebas mewacanakannya.
Lalu soal kritik. Apa itu kritik?
Etimologis berasal dari kata Yunani: Kritikos, yang bermakna “dapat didiskusikan”. Diambil dari kata Krenein, yang artinya: memisahkan, mengamati, menimbang dan membandingkan. Begitu kira-kira.
Jadi, kita bisa menerima kritik tatkala dalam kritikannya itu ada unsur memisahkan (topik yang mana, misalnya), atau kalimat, paragraf mana yang sedang diamati. Lalu pertimbangannya apa, kalau perlu dengan perbandingan. Sehingga kita pun jadi mengerti tentang subyek apa yang dikritik. Kita jadi paham bagaimana cara pandang sang pengkritik itu terhadap karya atau tulisan kita. Sehingga dengan demikian kita lalu bisa meresponnya dengan baik.
Tapi kalau cuma bilang bahwa tulisan kita itu, “Hoax!”, atau “Tak sepantasnya mencampuri urusan orang lain!” atau “Ini tulisan sampah!” dan kata-kata sejenisnya, maka itu bukanlah kritik, tapi lebih tepat disebut cacian.
Dan kita semua bersama-sama paham, bahwa kalau orang tak mampu berargumentasi dalam kritiknya, malah meresponnya dengan cacian, ada istilahnya yaitu: Idiotes (bahasa Yunani). Kalau dalam bahasa Latin disebut idiota, yang artinya: orang tidak berpendidikan.
Terhadap itu sebaiknya kita diam. Pepatah tua bilang, “Never argue with an idiot. People watching won’t be able to tell the difference!”
20/07/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.