Penulis: Nano Buana
Lagi ramai dan viral orang membahas tentang Citayam Fashion Week yang dilakukan oleh komunitas “Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok” atau disingkat SCBD. Menariknya lagi, ini dilakukan oleh anak-anak remaja tanggung yang pamer outfit mereka saat berada di wilayah Dukuh Atas, Jl. Jenderal. Sudirman.
Memang fenomena ini sudah mulai ramai sejak hampir setahun ini. Banyak anak muda berkumpul di sana, sekedar bercengkerama atau selfie bersama teman-teman mereka, terlebih adanya fasilitas umum yang indah dan “instagramable” untuk mereka bebas berekspresi. Berbagai gaya dan tingkah anak muda di sana dengan segala ekspresinya, mereka bebas melakukan apapun demi menunjukkan eksistensi diri mereka.
Apakah fenomena ini salah? Tentu tidak, selama itu kegiatan positif dan tidak mengganggu kepentingan umum, tentu saja mereka juga berhak di sana. Mereka hanya mencoba menjadi diri sendiri, mengekspresikan diri, seolah mereka ingin berkata bahwa outfit tidak melulu harus branded, tidak harus mahal, selama itu kelihatan keren dan nyaman dipakai yang penting mereka percaya diri, justru ini yang harusnya diarahkan dengan benar.
Fenomena ini sebetulnya biasa saja, dulu di Era tahun 60-an, anak-anak muda kala itu “kongkow” (berkumpul dan bercerita) di daerah Sarinah, Thamrin. Kita tahu bahwa saat itu Sarinah merupakan ikon mal pertama di Indonesia. Lalu, tahun 70-an, anak-anak muda banyak yang “nongkrong” di daerah Bulungan dekat SMA 70, Jakarta Selatan atau Orion, Jakarta Timur. Di tahun 80–90an awal, anak-anak muda “mejeng” di seputaran Melawai, Jakarta Selatan.
Jadi, fenomena ini bukan sesuatu yang aneh dari jaman ke jaman. Hanya memang, pada setiap kegiatan positif, akan selalu ada kegiatan-kegiatan negatif menyertainya. Saat ini, dimana fasilitas makin canggih dan makin banyak tempat untuk mengekspresikan diri, tentu menjadi hal yang tidak aneh. Lantas kenapa fenomena SCBD ini jadi sesuatu yang waaah?
Hal ini, menurut saya karena anak-anak muda yang melakukan itu bukan dari kalangan berada. Mereka mungkin merasa akan tidak diterima jika melakukannya di mal-mal “orang kaya” atau bisa jadi mereka justru akan minder (rendah diri) jika masuk ke tempat-tempat yang menurut mereka hanya untuk orang yang kaya saja.
Itulah mengapa mereka adu outfit di jalanan dengan istilah “Citayam Fashion Week”. Seolah ingin menunjukkan kalau keren itu tidak harus di Mal, untuk pede itu tidak harus mengenakan outfit branded yang mahal.
Ada satu hal yang mungkin lepas dari perhatian kita soal ini, perilaku sebagian anak-anak muda ini yang jika dibandingkan dengan teman-teman mereka seumuran dari keluarga mapan, tentu dianggap kampungan. Jangan salahkan mereka, jika mereka berekspresi demikian, sebab memang saat ini hanya itu yang bisa mereka lakukan untuk melepaskan diri seenaknya dari kenyataan hidup pahit.
Mereka banyak juga dari kalangan ekonomi orang tua yang serba sederhana dan tidak mampu. Mereka ingin menunjukkan pada tatanan sosial masyarakat bahwa mereka ada dan mampu berekspresi dengan segala keterbatasannya.
Banyak dari mereka yang dari kalangan ekonomi sederhana dan bahkan ada juga remaja putus sekolah. Mereka hanya ingin sejenak melepaskan diri dari kenyataan dan beban hidup. Sudut pandang mereka inilah yang seharusnya kita pahami dan kita hargai.
Adapun soal perilaku mereka yang dianggap kampungan, justru harus ada dukungan dari kita semua agar mereka bisa lebih maju dan berkembang ke arah yang positif.
Banyak sekali bidang-bidang potensi yang bisa kita gali dari sana. Tidak ada satupun anak yang terlahir ke dunia ini mau memilih untuk hidup susah, semua anak berhak untuk hidup bahagia di lingkungan keluarga yang bahagia pula. Namun kenyataan yang membawa mereka hidup di lingkungan yang serba terbatas dan serba sulit.
Sudah waktunya ada pihak-pihak yang mengambil momen bagus ini untuk menyalurkan bakat dan minat mereka dan selebihnya biar seleksi alam yang bekerja. Banyak sekali bakat yang bisa didorong agar mereka dapat berkembang ke arah yang benar. Bahkan Menteri Parekraf, Sandiaga Uno pun tak luput memperhatikan mereka. Beliau pun akan memberikan beasiswa bagi mereka yang minat untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.
Mungkin saat inilah yang tepat bagi pihak-pihak yang berkomitmen untuk turun gunung membantu mereka menyalurkan bakat-bakat terpendamnya.
Para fashion designer bisa memanfaatkan momen ini untuk memperkenalkan mereka dunia fashion sungguhan, para pakar perilaku manusia bisa juga memberi penyuluhan bagaimana mereka bisa lebih berkembang, atau bahkan para content creator bisa berkolaborasi membuat konten-konten menarik yang lebih positif lagi. Bahkan jika perlu pemerintah juga turun membantu permodalan bagi mereka yang berminat dibidang usaha kreatif.
Akhir kata, mereka generasi milenial yang ingin menunjukkan pada dunia, bahwa mereka ada dan mampu berkreasi meskipun dengan segala keterbatasannya.
Tugas kita bersama untuk merangkul mereka dan menyalurkan bakat mereka sebagai bekal untuk terjun ke dunia orang dewasa. Agar kelak mereka bisa memperbaiki kehidupan ekonomi dirinya serta keluarganya.