Penulis: Andre Vincent Wenas
Dulu Gerindra (bersama PAN, PKS dan Perindo, plus akhirnya juga Demokrat yang walau malu-malu) adalah parpol yang mengusung dan mendukung Anies-Sandi maju di pilkada paling brutal sepanjang sejarah. Sejak itu muncullah istilah pilkada ayat-mayat, ini istilah yang juga merepresentasikan makna politik “menghalalkan segala cara”. Politik Machiavellis sang oportunis sejati.
Sekarang kita kembali melihat, bagaimana Gerindra lewat kadernya yang jadi Waketum, Ferry Juliantono, bermanuver memainkan politik dua kaki. Ini mengikuti jejak Fadli Zon dan Sandiaga Uno yang sudah lebih dulu berada di arena. Mainan baru Waketum Gerindra Ferry Juliantono ini berjudul “Gerakan Anti-Islamophobia”.
Mungkin tak jauh beda dengan kisah Don Quixote yang memakai baju ksatria perangnya sambil melengkapi kuda kurusnya yang bernama Rocinante dengan taji. Untuk apa? untuk melawan… kincir angin!
Dalam imajinasi Don Quixote, kincir-kincir angin itu adalah raksasa-raksasa jahat yang perlu diperangi. Lucu (dan konyol) memang tatkala dunia realitas dan dunia khayalan berbaur jadi satu.
Ide gerakan ala Ferry Juliantono ini aneh, bagaimana mungkin di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, juga tak ada represi oleh penguasa, apalagi represi dari kelompok minoritas, lalu…
Ah sudahlah, mengenai ini banyak pengamat yang telah mengulasnya. Intinya, bukankah phobia yang faktual terjadi adalah phobia terhadap terorisme, akibat maraknya paham radikalisme yang dibiarkan tumbuh dari pembiaran sikap intoleran sejak kecil di sekolah-sekolah?
Tapi Waketum Gerindra itu malah mengarang bebas bikin cerita “Islamophobia” di negeri mayoritas penduduknya muslim. Aneh, lucu dan konyol.
Apa yang sedang “dimainkan” oleh Ferry Juliantono ini rasanya bisa lebih dipahami sebagai upaya menyiapkan wahana baru untuk kembali mengakomodir KGK yang dulu jadi pendukungnya. Pendeknya, supaya mereka dapat panggung kembali, lalu bisa main perang-perangan (melawan “musuh imajiner”), dan nanti bisa kembali main presiden-presidenan lagi (di “istana imajiner”) mereka.
Memang sih, demi kepentingan elektoral nanti, Gerindra butuh merekrut suara pendukungnya dulu. Dan itu adalah Kelompok Garis Keras (KGK) yang dinggapnya telah meninggalkan mereka. Kenapa ditinggalkan? Ya lantaran Prabowo Subianto (juga Sandiaga Uno) dianggap oleh mereka (KGK itu) telah “mengkhianati” mereka dengan bergabung ke “rejim thogut” (versi mereka).
Keduanya (Gerindra dan KGK) itu sebetulnya saling membutuhkan saja. Sama-sama oportunisnya. Tergantung keperluannya, kalau waktu dan tempat serta kondisi membutuhkan untuk berkolaborasi maka mereka bakal ber-simbiose-mutualis. No problem at all, …asal harga cocok, let’s do it! As simple as that.
Prabowo perlu panggung, Sandiaga Uno juga. Keduanya masuk (diakomodasi) dalam kabinet lawan politiknya dulu. Lalu apakah mereka berdua sepenuh hati, artinya waktu, pikiran dan tenaganya all-out dicurahkan untuk membantu presiden? Bukankah Menteri itu pembantu presiden? Atau malah menjadikan posisinya sekaligus untuk memainkan politik dua kaki mereka? Senyum simpul di sidang kabinet, sambil kedip-kedip main mata di acara miladnya PKS misalnya.
Riza Patria yang juga kader Gerindra sedang memainkan perannya sebagai stabilizer, atau shock–absorber di Balai-Kota Jakarta. Dengan statusnya sebagai Wakil Gubernur ia sekaligus jadi bumper-nya Anies untuk urusan yang jelek-jelek.
Sabar, sebentar lagi 2024, semua butuh logistik politik. Tak apalah bonyok sedikit, toh pirsawan +62 gampang lupa. Nanti, semua coreng moreng “dosa-dosa” politik bisa di-spin dengan tipu-tipu ala tuyul ancol. Hoax, semprot terus via buzzeRp, sambil bilang bahwa pihak sana yang pakai buzzeRp. Yah namanya juga ilmu ‘firehose of falsehood’, yang penting semprot terus dengan kebohongan, lama-lama pemirsa bakal percaya kok.
Pemungkasnya, plus taburi jargon agama sebagai bumbu penyedap maka semua coreng-moreng dosa politik itu bisa kembali ke fitri, atau juga bisa ke firza (tapi yang ini jangan bilang siapa-siapa).
Gampangannya, ada tiga bagian pemirsa politik. Sebagian pertama adalah orang yang membaca dinamika politik ini dengan tegang, emosional. Yang namanya idola (idols = berhala) mesti dibela, dibenar-benarkan. Justifikasi adalah kredo! Right or wrong my berhala (idol).
Sebagian lagi dengan sikap sersan (serius tapi santai) rileks saja, …ouw it’s just politics, politicians with so many politicking tricks. Just enjoy the show. Keep your mind open (pikiran terbuka), melihat, mengamati, lalu memilah-milah (menyaring, filtering) dengan kritis supaya nanti bisa memilih yang terbaik.
Sebagian terakhir adalah mereka yang cuek. What’s going on? Emangnya gue pikirin (EGP), ada amplop abang kucoblos, tak ada amplop abang kejeblos.
Bagi parpol yang menyasar segmen pertama akan merekrut para hard-liners macam KGK. Parpol yang menyasar segmen kedua akan melakukan edukasi politik yang cerdas dan beradab, walau melelahkan. Dan mereka yang menyasar segmen ketiga pasti telah menyiapkan pundi-pundinya, entah lewat donasi atau korupsi. Bukankah korupsi itu oli pembangunan kata Fadli Zon dulu?
Oh ya, segmen pertama dan ketiga itu seringkali (kenyataannya?) berkelindan satu sama lain. When it is a question of money, everybody is of the same religion (Voltaire). Di hadapan fulus, semua agamanya sama: “Keuangan Yang Maha Esa!”
19/07/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.