ACT Pantas Dibubarkan, Lembaga Kemanusiaan Serupa Perlu Distandarisasi

Achmad Nur Hidayat MPP
Pakar Kebijakan Publik NARASI INSTITUTE

Hebohnya pemberitaan majalah tempo Edisi 4-10 Juli 2022 yang mengungkapkan Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) diduga melakukan penyelewengan dana semakin menjadi perhatian publik.

Pendiri sekaligus pimpinan lembaga ACT, Ahyuddin, yang sudah mengundurkan diri pada Januari 2022 lalu diduga sang “pelaku” yang melakukan penyelewengan dana tersebut. Peristiwa tersebut sudah terjadi bertahun-tahun.

-Iklan-

Menurut laporan tempo tersebut, Ahyudin sempat menggunakan dana sosial yang dikumpulkan lembaganya untuk kepentingan pribadi, membelikan properti untuk ketiga istrinya dan cicilan lainnya.

Publik dihebohkan dengan tingginya gaji para pengelola dana kemanusiaan. Sebut saja misalnya Ahyudin, pendiri dan mantan Presiden ACT, ditengarai menerima gaji sebesar Rp250 juta per bulan. Kemudian pejabat senior vice president menerima Rp 200 juta, vice president dibayar Rp 80 juta, dan direktur eksekutif mendapat Rp 50 juta.

Presiden ACT Baru Ibnu Khajar, pengganti Ahyuddin, membantah gaji Presiden ACT terbaru mencapai Rp250juta. Saat konferensi pres Senin 4/7 menyatakan bahwa Pimpinan tertinggi saja tidak lebih 100 juta.

Ibnu Khajar menyebutkan bahwa gaji untuk pengelola dana adalah 13,7 persen sejak 2017-2021. Hal ini lebih tinggi dari amil zakat yang diatur agamanya maksimal hanya 12,5 persen dari total jumlah zakat.

Kilahnya, karena bukan lembaga amil zakat namun sebagai lembaga kemanusiaan dalam naungan Kemensos, ACT bisa mengambil gaji diluar ketentuan LAZ boleh lebih dari12,5 persen. Namun Ibnu khajar tidak menyebutkan berapa batas maksimalnya.

Adalah tidak wajar bila zakat yang diatur agama maksimal saja 12,5% namun lembaga kemanusian boleh mengambil sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pribadi daripada kepentingan kemaslahatan umat.

Penyimpangan tersebut dapat terjadi karena tidak adanya aturan dan standarisasi berapa gaji yang layak bagi para penghimpun dana kemanusiaan tersebut. Disinilah diperlulkan standarisasi aturan main.

Tempo melaporkan Para petinggi yayasan ini juga menerima fasilitas kendaraan dinas menengah ke atas seperti Toyota Alphard, Honda CR-V, dan Mitsubishi Pajero Sport.

Namun Ibnu khajar mengatakan bahwa sejak kepemimpinan dirinya pada Januari 2022, fasilitas kendaraan Dewan Presidium ACT adalah Innova. “Kendaraan tersebut pun tidak melekat pada pribadi, melainkan juga bisa digunakan untuk keperluan operasional tim ACT”.

PPATK Menduga ACT Memiliki Transaksi Terlarang

Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menyebutkan dari hasil analisis transaksi yang dilakukan pihaknya terindikasi ada penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi dan terkait dengan dugaan aktivitas terlarang yang dilakukan oleh ACT.

Dugaan PPTAK ini sangat mungkin bilamana lembaga kemanusiaan tidak memiliki standarisasi dan abai dalam menerapakan good governance. Penyimpangan membiayai transaksi terlarang sangat mungkin terjadi di lembaga yang tidak ada yang mengaudit selain dirinya sendiri.

Pengawasan yang rendah akan memungkinkan pihak pengelola melakukan tindakan-tindakan yang terlaranng termasuk tindakan memperkaya diri melalui penghimpunan dana masyarakat.

Bareskrim POLRI sedang Menyelidiki ACT

Bareskrim Polri melalui Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan bahwa Polri sedang membuka penyelidikan soal dugaan penyelewengan dana masyarakat oleh organisasi sosial Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan melakukan pengumpulan data serta keterangan (pulbaket).

Pulbaket atau pengumpulan bahan dan keterangan adalah berbagai upaya pendalaman yang sah dan bertanggungjawab dalam rangka mengumpulkan fakta yang relevan dengan dugaan penyimpangan terhadap peraturan melalui dokumentasi, konfirmasi, observasi lapangan, wawancara dan analisis.

Pulbaket dilakukan guna mendukung terlaksananya penanganan pengaduan melalui audit investigasi yang berkualitas.
Pulbaket umumnya dilaksanakan setelah adanya pengaduan oleh masyarakat namun dalam kasus tertentu tanpa pengaduan pun pihak POLRI dapat yang melakukan pulbaket.

Legalitas Sosial namun Anti Sosial

Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menuliskan legalitas dirinya diwebsite sebagai berikut ACT didirikan berdasarkan Akta Pendirian Nomor 2 (dua) tertanggal 21 April 2005 sebagaimana telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor C-1714.HT.01.02.TH 2005 Tanggal 1 November 2005.

Yayasan Aksi Cepat Tanggap telah memiliki Izin Kegiatan beroperasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui surat nomor 155/F.3/31.74.04.1003/-1.848/e/2019 yang berlaku sampai dengan 25 Februari 2024.

Yayasan Aksi Cepat Tanggap juga telah memiliki izin PUB (Pengumpulan Uang dan Barang) dari Kementerian Sosial melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 239/HUK-UND/2020 untuk kategori umum dan nomor 241/HUK-UND/2020 untuk kategori Bencana, izin tersebut selalu diperbaharui setiap 3 (tiga) bulan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

Demikian jelas bahwa ACT berada dalam naungan Kementerian Sosial untuk melakukan aktivitas sosial dan mendahulukan kepentingan personal. Namun anehnya manajemen ACT memperoleh 13,7 persen sebagai gaji yang melampaui dana amil zakat yang maksimal hanya 12,5 persen.

Tingginya kompensasi gaji untuk lembaga kemanusian 13,7 persen tersebut menunjukan lembaga sosial ini adalah anti sosial. Seharusnya lembaga sosial memberikan sebesar-besarnya manfaat untuk kembali kepada masyarakat bukan memperkaya diri dan para petinggi lembaga ACT saja.

ACT Pantas Dibubarkan

Idealnya lembaga kemanusian bergerak sesuai aturan kementerian sosial dimana pengelolanya dinamakan sebagai pekerja sosial. Pekerja sosial merupakan orang yang bekerja di bidang pelayanan sosial dan melakukan pekerjaan sosial berdasarkan keilmuan, nilai-nilai, dan pendidikan ilmu pekerjaan atau kesejahteraan sosial.

Namun petinggi ACT sama sekali tidak peduli dengan etika dan standarisasi pekerja sosial. Banyak diantaranya mereka menjadi petinggi sebagai Dewan Pembina, Dewan Pengawas dan Presiden ACT hanya bermodalkan pendidikan syariah umum atau sebagai ustadz.

ACT juga berpotensi melanggar Pasal 2 dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 terkait PUB yaitu penyelenggaran pengumpulan uang dan barang (PUB) dilakukan dengan prinsip tertib, transparansi dan akuntabel.

Pemberian kemewahan kepada petinggi ACT jelas disembunyikan sampai akhirnya publik mengetahuinya melalui pemberitaan majalah tempo kemarin.

Penyembunyian kemewahan para petinggi ACT dilakukan secara sistematis. Tidak ada satupun karyawan yang mengetahui memiliki keberanian untuk menceritakannya kepada orang lain diluar ACT.

Dewan Pengawas dan Dewan Pembina bungkam karena diduga ikut menikmati kemewahan yang diberikan kepada petinggi ACT tersebut. Padahal kemewahan tersebut diambil dari dana masyarkat untuk suatu program sosial yang ditawarkan publik.

Transparasi yang katanya ACT sudah menyajikan laporan keuangan nya secara transparan, dan di audit oleh Auditor diantaranya KAP Heliantono, KAP Razikun Tarkosunarto.

Ibnu Khajar mengklaim kondisi keuangan ACT sehat, dan sejak berdiri pada 21 April 2005 secara konsisten melakukan audit secara rutin. ACT mendapat predikat audit wajar tanpa pengecualian (WTP). Laporan itu juga dipublikasikan di situs resmi ACT.

Saat melihat laporan keuangan tahun 2019 di situs resmi ACT, terlihat laporan 2019 tersebut diaudit oleh KAP Razikun Tarkosunaryo. Razikun memberikan Wajar Tanpa pengecualian (WTP), konon Razikun ini punya kesamaan organisasi dengan beberapa petinggi ACT di Dewan Pembina, Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus di ACT.

Ada Tiga Alasan Kenapa ACT Pantas Dibubarkan

Pertama, ACT terlihat tidak amanah mengelola dana masyarakat. Masyarakat berharap donasinya diberikan sebesar-besarnya untuk mereka yang ditargetnya namun pihak ACT mengakui bahwa biaya gaji sejak 2017-2021 diatas dari jatah LAZ 12,5% yaitu 13,7%. Data ini pun masih meragukan karena tidak dijabarkan komponen-komponennya.

Kemewahan fasilitas yang diberikan petinggi ACT melanggar Pasal 6 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 dimana disebutkan bahwa Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10% (sepuluh persen) dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.

Kedua, Memberikan Efek Jera kepada semua lembaga kemanusiaan yang penghimpun dana dan barang dari masyakarat. Efek jera tersebut agar tidak ditiru oleh lembaga serupa bukan dengan niat menyebarkan bantuan malah bantuan tersebut disalurkan untuk meningkatkan kemewahan bagi petingginya.

Ketiga, ACT tidak memenuhi ketentuan aturan dari PPATK yang melarang melakukan tindakan terlarang dalam melakukan aktivitas pemberian bantuan. Meski butuh pembuktian lebih lanjut, PPATK seharusnya dapat menjelaskan ke publik aktivitas terlarang apa saja yang diduga dilakukan oleh ACT.

Perlunya Standarisasi Lembaga Kemanusiaan

Berbeda dengan lembaga pengelola zakat (OPZ), lembaga kemanusiaan seperti ACT tidak memiliki konstruksi regulasi dan mekanisme pengawasan yang ketat dan rigid.

Lembaga ini tidak diatur sebagaimana POZ yang diatur dengan Undang-Undang no. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dimana terdapat mekanisme pengawasan yang berlapis (multi-layer) dan melibatkan pemangku kepentingan yang beragam (multi-stakeholders), seperti Kementerian Agama, BAZNAS, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan lain sebagainya

Lembaga kemanusiaan seperti ACT tidak mengatur konflik kepentingan antara keterlibatan pengelola dengan program sosialnya selain itu tidak ada mekanisme pengawasan eksternal yang melibatkan audit kepatuhan syariah oleh Kementerian Agama, serta pelaporan rutin per semester kepada BAZNAS dan lembaga lainnya.

Singkatnya, lembaga kemanusiaan yang ada saat ini adalah bentuk penghindaran dari UU Zakat, mereka berlindung dibalik kementerian sosial agar terhindar dari mekanisme pengawasan yang ketat seperti lembaga pengelola zakat.

Didalam lembaga kemanusiaan banyak pencari hidup disana dan mereka menikmati longgarnya pengawasan dan mereka tidak takut dosa karena merasa lembaga tersebut lebih SEKULAR daripada lembaga zakat karena tidak perlu kepatuhan syariah yang ketat.

Oleh karena itu, dalam memberikan donasi sebaiknya masyarakat mempercayakan kepada lembaga pengelola zakat karena lembaga pengelola zakat ini lebih ketat dan lebih sesuai pada kepatuhan syariah dan lebih tepat sasaran dalam memberikan manfaat. Mereka terhimpun dalam organisasi yang bernama FZ (Forum Zakat).

Penggunaan alokasi dana operasional lembaga kemanusiaan seperti ACT sangat berbeda dengan OPZ dimana OPZ diatur sangat ketat mengacu pada Fatwa MUI No. 8 tahun 2020 tentang Amil Zakat dan Keputusan Menteri Agama No. 606 tahun 2020 tentang Pedoman Audit Syariah yaitu tidak melebihi 1/8 atau 12,5% dari jumlah penghimpunan dana zakat dan 20% dari jumlah dana infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dalam satu tahun.

Lembaga kemanusiaan dibawah Kementerian Sosial hendaknya distandarisasi seperti lembaga pengelola zakat. Standarisasi yang dimaksud minimal terkait sistem pengawasan, kepatuhan penyaluran dan alokasi dana operasional untuk pengelola kelembagaan.

Hal ini mutlak diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan kembali kepada lembaga kemanusiaan yang ada. Harus diakui, efek rusak dari ACT ini buka hanya ACT namun seluruh lembaga kemanusiaan yang ada saat ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here