Penulis: Dahono Prasetyo
Lembaga Filantropi ACT kembali menyita perhatian menjelang hari raya Idul Qurban. Sebagai lembaga penyalur donasi berbasis Islam, Iedul Qurban adalah masa “panen” sumbangan dari para donatur dan jamaahnya. Media Tempo kali ini menurunkan laporan berita yang justru mendiskreditkan ACT, lengkap dengan data investigasi dan wawancaranya.
Bukan lagi tentang dugaan penyaluran dana untuk teroris, atau pemberontak Suriah. Bukan pula laporan berapa fakir miskin yang sudah disantuni. Tapi tentang kelakuan petinggi ACT yang ternyata digaji ratusan juta per bulan.
Dari mana asal sumber dana ACT yang pada laporan keuangannya tercatat berhasil mengumpulkan dana setengah triliun lebih tiap tahunnya.
Yang pertama bersumber dari donasi individu melalui rekening khusus yang dipublikasikan lewat iklan, spanduk, selebaran hingga website. Tidak ketinggalan ribuan kotak amal dengan nama yayasan yang terafiliasi dengan ACT. Dana tersebut mengalir real-time 24 jam dan biasanya jumlahnya meningkat pada saat ACT meluncurkan program “save-save-an”: Save Palestina, Save Rohingya, Save Ghouta, Save Palu, Save Lombok dll. Tidak ketinggalan program peduli Al-Quran, Sebar Qurban, Bantu Hafidz.
Yang kedua dari jaringan anggota mereka di lingkungan BUMN dan BUMD.
Ceruk donasi ini disinyalir menjadi pemasukan terbesar yang rutin mengalir tiap bulan. Skema CSR yang menjadi kewajiban perusahaan plat merah untuk dikembalikan kepada masyarakat bisa berwujud apa saja. Beberapa petinggi BUMN dalam jaringan dakwah dan sedekah ACT diarahkan untuk mengalokasikan dana sosial perusahaan ke rekening donasinya. Jumlahnya bisa 9 digit untuk satu BUMN, dan 6 digit untuk kelas BUMD.
Yang ketiga, dari dana CSR perusahaan swasta Nasional. Ada Mayora, Unilever, Danone yang setia berlangganan ke ACT nyumbang dana dengan menyisihkan keuntungan perusahaan. Jumlahnya juga bisa miliaran.
Jaringan jama’ah ACT yang berafiliasi fanatisme tertentu menguasai internal SDM perusahaan. CSR yang ibarat uang setan dimakan jin lembaga donasi.
ACT yang badan hukumnya berstatus Yayasan menjelma menjadi Holding. Bukan lagi nirlaba, tapi untung rugi diperhitungkan sampai pada upaya mensejahterakan pengurusnya. Gaji ratusan juta per bulan hingga fasilitas kemewahan petingginya dari mana sumber pendapatannya?
Yang pasti dari uang jamaah masjid bersendal jepit yang tergiur janji surga mengikhlaskan rizkinya atas bimbingan ACT.
Sepak terjang lembaga Donasi ACT di dunia bantuan kemanusiaan sudah tidak ada duanya. Kecepatan respon menanggapi musibah kemanusiaan menjadi bisnis donasi terkelola dengan profesional. Dompet donasi bersaldo puluhan miliran rupiah per bulan, menarik diperebutkan oknum rakus berbaju agama.
Seberapa ironisnya penyelewengan yang terjadi sebagai pihak penyalur dana sumbangan? Catat ya, hanya penyalur bukan pemilik dana. Yang terbaru kasus penyelewengan dana sumbangan kompensasi korban pesawat Lion dari Perusahaan Boeing. Dana sebesar Rp135 miliar yang seharusnya dipergunakan membangun sekolah dan pesantren atas kuasa korban kecelakaan pesawat dibelokkan untuk menutup defisit anggaran di manajemen ACT.
Apakah gaji Rp250 juta Presiden ACT, Rp50 sampai 150 juta petinggi ACT lain menjadikan manajemen defisit keuangan? Hingga mesti nyomot uang sumbangan dari pos lain.
Penyelewengan berikutnya menyusul temuan PPATK atas transaksi elektronik dari rekening ACT. Ada bukti transaksi belanja kebutuhan pribadi dan aktifitas terlarang. Tanpa menyebutkan aktivitas terlarang apa, yang pasti tidak jauh-jauh dari aliran dana untuk kegiatan radikalisme jika tidak ingin disebut mendanai teroris.
Diakui petingginya, ACT mengantongi izin dari Kementerian Sosial, bukan amil zakat yang izinnya dari Menteri Agama. Di sini pemahamannya kemudian jadi rancu. Aktivitasnya mengumpul dan menyalurkan dana sumbangan dari berbagai sumber tidak terbatas agama Islam. Tetapi pada kenyataanya yang terpampang dalam iklan, baliho, poster, spanduk sebagian besar musibah, kesengsaraan dan penderitaan umat Islam.
Sebegitu teganya ACT menjajakan kesedihan umat Islam untuk menarik simpati bantuan donasi?
Celakanya lagi sumbangan besar dari mana-mana, besar pula potongan uang adminnya (kalau tidak ingin disebut uang calo).
Kemensos sebagai institusi pemberi izin operasional, seharusnya punya kewajiban mengawasi. Yayasan nirlaba yang nol persen pajak pada kenyataannya menumpuk keuntungan berlipat dari hasil jualan musibah. Jadi ada benarnya juga, agar keuntungan tidak terlihat di saldo, ya kantongi saja di rekening pengurusnya.
Takut-kah Mensos Risma didemo “7 juta” umat gegara mencabut izin ACT? Kalau iya, justru kami yang jadi khawatir jangan-jangan Kemensos sudah dibeli juga oleh ACT?
Baca juga: