Penulis: Nurul Azizah
Terasa berat untuk menulis dengan tema menjelang satu abad usia NU. Karena penulis menyadari pengetahuan yang minim tentang sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama. Tetapi entah apa yang terus mengganggu pikiran penulis untuk tetap menulis dengan ide menjelang satu abad NU.
Ada kekuatan dan bisikan: “Tulis, ayo tulis, jangan takut.” Saat inilah muncul keberanian diri untuk memulai menggerakkan jari jemari dengan dituntun hati dan pikiran, fokus dan terus fokus untuk mengangkat kiprah NU dalam menjaga kedaulatan NKRI.
Sambil terus mencari bahan tulisan dan buka-buka literatur tentang ke-NU-an serta sejarahnya, penulis memberanikan diri untuk memulai tulisan ini.
Penulis sangat-sangat hormat dan takzim dengan ulama-ulama besar NU yang mendunia. Tulisan-tulisan para ulama khos NU, yang pernah penulis baca antara lain dari KH. Hasyim Asy’ari, Gus Dur, Habib Lutfhi bin Yahya, KH. Said Agil Siradj Gus Yahya Cholil Staquf, KH. Musthofa Bisri, Cak Nun, Gus Baha, Habib Prof. Quraish Shihab, Dr. H. Nadirsyah Hosen, MA, Ph.D dan penulis-penulis hebat lainnya poro kiai-kiai NU lainnya. Beliau-beliau tokoh NU yang mendunia. Religius, teladan, inspiratif dan mencintai NKRI. Penulis kagum dengan kehebatan poro ulama NU, selain berdakwah, beliau-beliau memiliki karya tulis dan kitab yang bisa dipelajari oleh generasi muda NU pada kususnya dan seluruh rakyat yang mencintai NKRI pada umumnya.
Tulisan ini hanya sebatas satu tetes embun pagi, muncul, menetes, jatuh dan lenyap. Paling tidak satu tetes embun ini bisa memberi makna, bahwa masih ada pagi yang menawarkan kesejukan walau sekejap.
Poro alim ulama dan kiai-kiai NU, apabila panjenengan membaca tulisan ini, mohon sekiranya untuk dimaafkan atas ketidak-sopanan penulis dalam memilih diksi, kalau ada kata yang kurang berkenan mohon dimaafkan. Penulis hanya ikut mengisi ruang medsos dengan tulisan menjelang usia satu abad NU.
Penulis awali sejarah berdirinya NU. Melansir dari NU online, KH. Cholil Bangkalan Madura yang memerintahkan KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo untuk membawa tongkat dan tasbeh kepada orang yang sama yaitu KH. Hasyim Asy’ari.
Pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh mbah Cholil mengantarkan tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Quran Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.
Sebelumnya KH. Abdul Wahab Chasbullah pada tahun 1924 juga menggagas berdirinya jam’iyyah (organisasi) yang langsung disampaikan ke KH. Hasyim Asy’ari untuk menerima persetujuan. Namun KH. Hasyim Asy’ari tidak lantas langsung menyetujui usulan tersebut, sebelum beliau melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk dari Allah SWT.
Akhir tahun 1925 santri As’ad diutus lagi oleh mbah Cholil untuk menghantarkan seuntai tasbeh lengkap dengan bacaan Asmaul Husna: Ya Jabbar, Ya Qohhar (yang berarti menyebut nama Allah Tuhan Yang Maha Perkasa), kepada KH. Hasyim Asy’ari
Tasbeh tersebut dibawa As’ad dari Bangkalan ke Tebuireng tanpa menyentuh sedikitpun.
Saat tiba di hadapan KH. Hasyim Asy’ari, tasbeh itu diambil dari tubuh santri As’ad oleh KH. Hasyim Asy’ari.
“Apakah ada pesan lagi dari Bangkalan?”
Spontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, ya Qohhar”.
Dua Asmaul Husna ini terus diulang hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Setelah mendengar lantunan Asmaul Husna tersebut, KH. Hasyim Asy’ari berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan Jam’iyyah.”
Pada tanggal 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H lahirlah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) dengan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar, pimpinan tertinggi yang pertama di NU sekaligus pendiri NU.
Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) mendirikan Jam’iyyah atau organisasi NU di kediaman KH. Abdul Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya, Jawa Timur.
Kalau merujuk tulisannya Maulana Al-Habib M. Lutfhi bin Yahya, dibentuknya NU sebagai wadah Ahlussunah wal Jamaah bukan semata-mata KH. Hasyim Asy’ari ingin berinovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dhurori, wajib mendirikan sebuah wadah Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) di Indonesia.
Pada rentang tahun 1200 H sampai 1350 H, Indonesia banyak memiliki ulama-ulama besar yang mengharumkan bangsa Indonesia. Mereka sangat masyhur dan menyemarakkan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram Mekkah Arab Saudi. Ilmunya sangat luas dibidang syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf. Diantaranya dari Sambas Kalimantan Barat, Ahmad bin Abdus Shamad Sambas beserta murid-muridnya. Diantaranya Kiai Tholhah Gunungjati Cirebon. Kiai Tholhah adalah Kakek dari Kiai Syarif Wonopringgo Pekalongan.
Murid yang masyhur lainnya Kiai Syarifudin bin Kiai Zaenal Abidin bin Kiai Muhammad Tholhah. Adik seperguruan beliau diantaranya Kiai Ahmad Cholil Bangkalan Madura. Dan diantara murid-murid Syekh Ahmad Sambas yaitu Syekh Abdul Qodir Al-Bantani, yang kemudian menurunkan anak murid yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber dan Kiai Asnawi Banten. Dari kiai-kiai tersebut menurunkan murid-murid yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.
Murid yang terakhir adalah Sayyidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo Mranggen Demak yang makamnya dekat dengan rumah penulis.
Kita warga Nahdliyin seharusnya bangga, banyak kiai-kiai NU yang masyhur termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin Jogya, Kiai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh kiai yang tinggal dan mengabdi di Haromain (Mekkah Madinah).
Ulama-ulama tersebut menjadi mata rantai berdirinya NU. Mereka kalau dalam hadis betul-betul tahu sanadnya, bukan katanya si A, si B dan si C. Jadi warga NU harus tahu ajaran Ahlussunah wal Jama’ah yang didirikan oleh Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Para ulama pendiri NU bukan sembarang ulama, tetapi ulama yang menguasai ilmu, mempunyai maqomah kedudukan yang luar biasa.
Namun sayang kedudukan dan peran ulama-ulama besar dari Indonesia tidak memiliki wadah. Maka ulama-ulama Haromain mengutus KH. Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia menemui dua maha guru di Indonesia. Kalau dua maha guru ini mengiyakan jalan terus, kalau tidak jangan diteruskan. Dua maha guru tersebut adalah Habib Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya Pekalongan, yang satunya mbah Cholil Bangkalan Madura.
Kedua kiai tersebut yaitu Habib Hasyim Pekalongan dan mbah Cholil Bangkalan memberi restu kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan wadah jam’iyyah para ulama-ulama yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Sekarang sudah masuk tahun 2022, empat tahun lagi NU berusia 100 tahun atau satu abad. Baca selanjutnya: Satu Abad NU, Digdaya Menuju Kebangkitan Baru
Mantap