Penulis: Andre Vincent Wenas
Sebetulnya kita rada malas juga mengomentari fenomena patung Buddha di Candi Borobudur ala Roy Suryo. Entah di mana letak kelucuannya? Kok malah lebih terkesan olok-olok yang -maaf ya– kampungan!
Tapi beberapa teman minta komentarnya. Jadi ya begini saja deh tanggapan kita:
Dipublikasi di akun twitter @KRMTRoySuryo2 yang katanya baru dihapus sendiri, namun keburu di-screenshoot oleh para netizen, begini teksnya (waktu itu): “Mumpung akhir pekan ringan2 saja Twit-nya. Sejalan dgn protes Kenaikan Harga Tiket naik ke Candi Borobudur (dari 50rb) ke 750rb yg (sudah sewarasnya) DITUNDA itu, Banyak Kreativitas Netizen mengubah Salahsatu Stupa terbuka yg Ikonik di Borobudur itu, LUCU, he-3x AMBYAR.”
Twit KRMT Roy Suryo yang dilampiri gambar stupa yang diolah secara digital jadi paras menyerupai Presiden Joko Widodo itu pun sontak mendapat kecaman yang (sudah sewarasnya) dari berbagai kalangan.
Tertulis mau lucu-lucuan, tapi malah terkesan nyinyir bahkan menghina kepala negara. Apakah terhadap hal yang sederhana seperti ini tidak mampu diproses oleh isi tengkorak dan hati seorang KRMT Roy Suryo? Heran juga, why so cheap?
Bukankah ia seorang mantan menterinya SBY? Yang walau Pak SBY jago nyanyi namun sayangnya sang mantan Menteri itu tak pandai bahkan untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Gegara ulahnya sendiri, jejak “maling panci, antena dan pompa dragon khas KRMT Roy Suryo” yang ikonik itu akhirnya dibongkar kembali oleh para netizen. Para warganet yang laksana ‘the great barrier reef sharks’ mencium bau darah segera saja manyasar. KRMT Roy Suryo pun habis-habisan “dikunyah” (tapi lalu dilepeh). Bau tengik kata para hiu itu.
Ini mungkin soal selera humor yang berbeda antara mereka (yang sewarasnya) normal, sehat mental-spritual versus mereka yang luka batinnya belum sembuh atau memang dengki hatinya.
Entahlah, kita memang –seperti dibilang diawal– enggan mengomentari kekonyolan ala KRMT Roy Suryo itu. Maka kita tutup dengan kutipan (saduran) humor ala Gus Dur saja ya:
Sekali peristiwa saat menyampaikan pidatonya Gus Dur bercerita, kira-kira begini:
Suatu ketika penghuni surga dan neraka asal Indonesia bermusyawarah. Kesepakatannya ingin membangun jembatan yang nantinya menghubungkan surga dan neraka, agar baik penduduk surga maupun neraka bisa saling mengunjungi, bersilaturahmi. Deal-nya masing-masing pihak mengerjakan separonya, fifty-fifty gitu.
Lanjut Gus Dur,
Para penghuni surga dan neraka kemudian membentuk panitia masing-masing (ini memang khas di kita, apa-apa mesti ada panitianya). Singkat cerita, panitia neraka langsung kerja merancang dan membangun, tak pakai lama separo jembatan itu pun beres.
Tapiiii… berbeda dengan yang neraka, panitia surga tak kunjung merampungkan pembangunan jembatan. Boro-boro bangunan fisiknya, bahkan desain rancangannya pun belum jadi. Maka murkalah panitia neraka (btw murka adalah kebiasaan di neraka).
Panitia neraka berteriak (seperti biasanya): “Jembatan kami sudah kami kerjakan separonya, sementara kalian belum bikin apa-apa!!!”
Jawab panita jembatan dari surga, “Lah, bagaimana kami mengerjakan pembangunan jembatan ini? Wong pimpinan proyeknya, pemborongnya, dan juga menteri-menterinya di neraka semua.”
“Negeri ini tidak akan hancur karena bencana atau berbeda. Tetapi karena moral bejat dan perilaku korupsi!” – KH Abdurrahman Wahid.
15/06/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.