Penulis: Andre Vincent Wenas
“All animals are equal, but some animals are more equal than others!”
Begitulah George Orwell dalam fabelnya yang kondang ‘Animal Farm’. Dan di dalam cerita itu kamerad Babi berkuasa!
Tapi kita bukan mau meresensi novel itu. Kita mau bikin cerita balada tentang daging babi. Iya, ini khan daging yang lagi dibuat ramai belakangan ini. Entah sebagai pengalihan isu soal bir yang jadi sponsor event sang pangasong ayat-mayat, atau kejadian ini memang pantulan kebodohan sementara pihak.
Oke, kita mulai ya…
Daging babi pakai bumbu kecap namanya babi-kecap. Bagi sebagian orang tidak boleh dimakan, tapi bagi sebagian lainnya itu adalah menu favoritnya. Jadi silahkan pilih sendiri, mau dimakan silahkan, tidak mau ya juga tidak ada yang boleh memaksa.
Di Sulawesi Utara sana, daging babi dikasih bumbu rica-rica, namanya babi-rica. Menu ini cukup popular di seantero Nusantara. Tentu sama juga, boleh dimakan buat yang mau. Bagi yang tidak mau lantaran dilarang oleh keyakinannya, ya silahkan lewati saja. Tak boleh ada yang memaksa.
Di sebuah tempat, dua tahun lalu, ada yang bereksperimen daging babi dimasak dengan bumbu rendang, diberi nama dengan jelas mengandung unsur babi: Babiambo. Dan sama juga, bagi yang mau ya silahkan pesan, sedangkan bagi yang tidak mau pesan juga tidak boleh dipaksa. Bebasambo!
Di Sumatera Utara dan di Lapo tetangga saya di Kawasan Jakarta Pusat tersedia Babi Panggang, lantaran daging babi itu dipanggang. Kalau tidak dipanggang ya tentu namanya “Bukan Babi Panggang”, atau “Babi Tidak Dipanggang”. Sederhana toh?
Tapi eh… “Sederhana” itu nama restoran Padang ya? Apa boleh nama warung makan Batak itu dikasih nama “Lapo Sederhana”? Apakah nama seperti itu bakal menyinggung perasaan mereka-mereka yang memang gampang tersinggung? Cuma tanya.
Yang penting dan jadi persoalan di sini adalah: jangan main tipu sana-sini (tipsani) dan atau main paksa sana-sini (paksani), lantaran itu bisa kena pasal pidana. Kalau usaha jualan makanan tidak pakai tipsani dan paksani ya tidak apa-apa toh? Jelas tidaaaak…?
Menurut hikayat yang tertulis dalam balada daging babi karangan pujangga asal puncak Gunung Klabat sana, bahwa daging babi itu mau dikasih bumbu apa pun ya boleh-boleh saja. Para babi itu tidak bakal protes. Dijamin.
Mau pakai gulai ya jadi babi-gulai, so what? Yang penting katakanlah terus terang: menu ini terbuat dari daging babi! Baca dulu dan pertimbangkan sendiri. Kalian mau pesan silahkan, tidak mau pesan juga tidak dipaksa.
Dan, kalau ada gerombolan orang yang memaksa beli –apalagi paksa makan– maka negara perlu (bahkan harus) menjitak para pemaksa itu. Termasuk juga negara mesti menjitak mereka yang memaksa melarang orang untuk berjualan menu daging babi dengan bumbu apa pun!
Yang penting jualan itu sudah di-declare (diproklamasikan) sedemikian: Bahwa menu ini mengandung babi! Maka adalah hak segala bangsa untuk memesannya atau tidak memesannya. Titik.
Negara seyogianya bertindak selaras dengan ayat-ayat konstitusi (hukum). Sekali lagi, dengan ayat-ayat konstitusi (hukum)! Kalau ada unsur pidana macam tipsani atau paksani, maka jitak! Kalau tidak ada unsur pidananya, ya bebasambo!
Lho, kok malah dengan ayat konstitusi bukannya dengan ayat-ayat kitab suci sih? Iya dong, ayat kitab suci itu khan untuk urusan masing-masing pribadi dengan Tuhannya kelak di pengadilan alam-baka.
Ayat kitab suci memang penting, bahkan sangat penting untuk menjaga moral pribadi masing-masing. Sedangkan urusan sosial-kemasyarakatan saat ini, di alam-fana, urusan kita adalah dengan ayat-ayat konstitusi (hukum).
Soal ketaatan atau pelanggaran ayat kitab suci, itu urusan masing-masing dengan Tuhannya. Bukan urusan kalian!
12/06/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.