Penulis: Andre Vincent Wenas
Menjelang sore (Senin 11/04/2022) kami sedang rapat di Kawasan Jakarta Pusat, tiba-tiba mendengar kabar Ade Armando dianiaya sekelompok orang.
Mendengar berita itu kami mencari informasi tentang kondisi serta di mana keberadaanya. Lalu langsung meluncur ke sebuah rumah sakit di Kawasan Semanggi. Mendapati Ade dalam kondisi babak-belur, sangat memprihatinkan.
Tapi Ade sadar dan masih bisa berbicara, syukurlah. Semoga ia semakin pulih dan bisa meneruskan perjuangannya mengawal demokrasi, mengawal toleransi di negeri ini.
Sungguh memprihatinkan, demonstrasi mahasiswa 11 April 2022 telah ditunggangi sekelompok orang yang bertindak biadab. Mereka menunggangi kebebasan berpendapat yang selama ini dirawat oleh Presiden Joko Widodo. Mereka jelas para penjarah demokrasi yang sesungguhnya.
Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang ada di lapangan tadi, tapi juga mereka yang – kabarnya – menjadi bohir gerakan penjarah demokrasi ini, tapi mereka bermain di belakang layar. Para pengecut. Para penikam dari belakang, gaya Brutus.
Tadi terdengar pula teriakan-teriakan barbar, “darahnya halal!, penista agama!”, dan seruan lain yang kerap kita dengar dipekikan oleh kelompok yang itu-itu juga. Apakah “operator lapangan” ini adalah orang dari kelompok yang itu-itu juga? Walahuallam.
Mereka menunggangi dinamika demokrasi. Para mahasiswa mau menyatakan pendapat, dan menyatakan pendapat itu sah-sah saja di negeri ini. Tak ada masalah soal itu.
De facto, kebebasan menyatakan pendapat oleh para mahasiswa itu pun aman-aman saja, sampai pecahnya insiden penganiayaan Ade Armando. Fora kebebasan menyatakan pendapat itu tercemar.
Situasi demokratis itu jadi tidak aman untuk menyatakan pendapat. Lantaran sekelompok orang serta merta mengeroyok seorang Ade Armando yang tanpa daya dihajar habis-habisan. Tanpa peri kemanusiaan. Sungguh jahat, biadab sekali.
Adalah fakta bahwa hari Senin 11 April 2022, suasana demokratis di Indonesia telah dirusak oleh para penjarah demokrasi. Penjarah ini (para operator lapangan serta para bohirnya) sejatinya adalah pengkhianat, juga pengecut.
Mereka tak berani adu argumentasi secara terhormat. Nalar mereka butek dan buntu, maka ototlah yang dipamer. Mereka pikir dengan menelanjangi seorang Ade Armando bisa mempermalukannya.
Tidak! Merekalah yang sedang mempermalukan dirinya sendiri.
Dengan berbuat kebiadaban seperti itu, justru mereka sedang menelanjangi dirinya sendiri. Oh ternyata cuma secuil itulah nyali mereka. Main keroyok, bergaya kampungan dan sangat norak.
Kenyataannya, simpati kepada seorang Ade Armando malahan mengalir sejak tadi sore kami mendampinginya di ruang gawat darurat. Dukungan moral dan material datang dari mana-mana.
Sementara para pengeroyok itu, di mana mereka? Terbirit-birit, bersembunyi, ketakutan, menjadi buronan (malah sebagian sudah tertangkap).
Lalu para bohir mereka? Di mana mereka? Jelas mereka akan terus bersembunyi, cuci tangan, sambil terus mengusap wajah hipokritnya.
Mungkin para bohir ini rada kecewa juga, lantaran – kabarnya – program kerusuhan besar-besaran di ibu kota yang dirancangnya telah gagal total. Justru lantaran insiden penganiayaan Ade Armando terjadinya terlalu cepat (kepagian).
Ibarat bisul telah dipecahkan lebih dahulu. Nanah telah muncrat, maka bakterinya pun ikut memburai keluar duluan. Prematur.
Namun, biar bagaimana pun, tindakan barbar, biadab dan pengecut yang telah mereka lakukan terhadap seorang Ade Armando patutlah dikutuk.
Sekali lagi perjuangan menjaga demokrasi di Indonesia telah memakan korban anak bangsa.
Ade Armando jadi tumbal sekaligus simbol perlawanan, yang telah memporak-porandakan rencana jahat para penjarah demokrasi.
Para bohir itu akan terus bersembunyi di balik topeng hipokrisinya. Dan mereka akan terus memperalat orang-orang bodoh untuk mengeksekusi niat kotornya.
Lekas pulih Ade Armando. Lanjutkan terus perjuangan mengawal demokrasi, mengawal toleransi di negeri ini. Amin.
11/04/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.