Penulis: Nurul Azizah
Tulisan ini terinspirasi dari kunjungan penulis ke Vihara Buddhagaya Watu Gong Semarang beberapa hari yang lalu.
Sejak lama ketika melintas di jalan Pudak Payung Banyumanik Semarang atau Watu Gong depan Markas Kodam IV Diponegoro Semarang, penulis selalu tertarik pada dua bangunan yang menonjol di area tersebut yaitu Dhammasala dan Pagoda yang tingginya mencapai 45 meter.
Dammasala bangunan yang banyak ornamen seperti yang ada di Candi Borobudur merupakan bangunan inti atau pusat dari sebuah komplek yang disebut Vihara.
Bangunan yang di dalamnya terdapat patung Shidharta Buddha Gautama digunakan sebagai puja bakti, meditasi, penahbisan bhikkhu dan samarena, tempat berdiskusi dan lain-lainnya.
Penulis juga tertarik pada bangunan Pagoda yang banyak ornamen China. Pagoda merupakan stupa dengan ciri khas Tiongkok. Di dalam ruangan yang disebut Ruang Metta Karunna Pagoda, disemayamkan Bodhisatva Avalokitesvara atau lebih dikenal sebagai Dewi Kwan She Im Po Sat atau Dewi Welas Asih. Banyak sekali ornamen China, apalagi di depan Pagoda ada Pohon Bodhi atau pohon keberuntungan. Pada pohon tersebut banyak lampu-lampu lampion khas China dan pita permintaan.
Saat penulis berada di bawah Pohon Bodhi bertemu dengan pak Siswono yang sehari-hari bertugas membersihkan area Vihara tersebut.
Dari beliau penulis dapat keterangan, “Dhammasala untuk Umat Buddha Theravadha sedangkan Pagoda untuk umat Buddha atau orang keturunan Tionghoa atau penganut Mahayana, juga umat Theravada karena Kwan Shi Im Po Sat itu sebagai Boddhisatva (calon Buddha).”
Yang lebih tercengang pak Siswono bertutur, “Seperti dalam islam, ada dua kelompok walau satu guru yaitu NU (Nahdlatul Ulama) dan MD (Muhammadiyah).”
Penulis tercengang dengan alasan, melihat sosok yang notabene “tukang sapu” tapi pengetahuannya seperti guru.
Juga menurut Romo Warto seorang pandita juga sebagai pengawas pada Yayasan Buddhagaya, “Mahayana sebagai kendaraan besar walaupun diri sendiri belum mencapai kesucian tapi membantu orang lain untuk mengajarkan Dharma atau Dhamma kepada orang lain untuk bersama sama mencapai kesucian. Sedangkan Teravadha diri sendiri mencapai kesucian baru mengajar orang lain namun kenyataannya walaupun belum mencapai kesucian juga mengajarkan dhamma kepada orang lain.”
Masih menurut Romo Warto yang juga Ketua Buddha Theravada Indonesia Provinsi Jawa Tengah, Mahayana saat sembahyang puja bakti memakai musik sedangkan Theravada tidak memakai musik.
Penulis baru faham ternyata di lingkungan Vihara Buddhagaya ada dua bangunan untuk pemeluk agama Buddha dengan dua keyakinan tetapi masih dalam ajaran Sidharta Buddha Gautama.
Mereka rukun bersandingan satu sama lain dan saling melengkapi.
Penulis tidak berani mengulas tentang apa itu Buddha Mahayana dan Buddha Theravada.
Penulis kini baru tau soal dua bangunan itu berada dalam satu komplek Vihara Buddhagaya. Tampak para penganut Buddha rukun damai tidak ada permusuhan walau beda pandangan, tetapi masih menganut guru yang sama yaitu Sidharta Buddha Gautama.
Perlu dicontoh oleh umat islam yang ikut organisasi NU dan MD. Sebenarnya guru mereka sama, pendiri NU Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan pendiri MD KH. Ahmad Dahlan.
Perlu diketahui oleh umat Buddha dan umat lain, di Indonesia orang islampun rukun, walau ada yang ikut NU maupun MD. Setelah ada oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, baik di NU dan MD ada sedikit gejolak. Tapi yang tahu tidak akan menjadi masalah. Kita semua sama baik NU dan MD adalah umat islam rahmatan lil alamin, menjalankan islam sesuai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam yang damai, islam yang indah dan islam yang penuh Rahmat dari Allah SWT.
Baik KH Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan memiliki guru yang sama yaitu Syaikhona Kholil bin Abdul Lathif Bangkalan Madura.
Banyak persamaan tapi juga ada perbedaan, perbedaan mendasar awal berdirinya diantaranya: NU tersebar di masyarakat pedesaan, sementara MD tersebar di masyarakat perkotaan, jadi guru baik dari NU dan MD menjalankan amalannya disesuaikan dengan kondisi masyarakat tersebut berada. Tapi inti dari ajaran islamnya sama. Sama-sama menjalankan ajaran islam rahmatan lil alamin yang dibawa Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
MD tetap saudara kandung NU bahkan menjadi saudara tua.
Tapi karena ada oknum-oknum tertentu dalam MD yang mengubah MD yang asli atau ori (yang sama seperti ajaran NU) berubah menjadi tidak sama lagi. Jadilah MD yang sekarang ini.
MD tetap beda dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), FPI, HTI, Wahabi atau sejenisnya.
Saat ini banyak warga MD yang tersusupi PKS, HTI, FPI, Wahabi dan sejenisnya. Sama seperti NU, banyak warga NU yang tersusupi PKS, HTI, FPI, Wahabi dan sejenisnya. Mereka dinamakan NUGL (NU Garis Lurus atau NU rasa-rasa, rasa HTI, FPI, PKS atau NU rasa wahabi). Baik NU dan MD yang tersusupi oleh pihak-pihak yang radikal intoleran serta pembenci NKRI seringnya disebut kadrun (kadal gurun).
Gus Dur bersahabat dengan Buya Safii Ma’arif. Sahabat dekat Gus Dur merupakan ulama besar Muhammadiyah, ulama yang menentang dan melawan kaum kadrun, FPI, HTI, PKS serta wahabi yang keras pendiriannya.
Baik Gus Dur dan Buya Safii Ma’arif mendukung pemerintah, sayang kepada Jokowi, adil, dan mendamaikan siapa saja.
Meskipun Buya Safii Ma’arif ulama MD, kita sebagai warga NU wajib hormat setinggi-tingginya. Apalagi yang saat ini lagi sakit, kita wajib mendoakan kesembuhan untuk buya Safii Ma’arif.
Menurut pengamatan penulis, MD itu jauh dari kadrun cs. Kalau soal Amin Rais dan warga MD yang tersusupi itu bagian dari kadrun, bukan berarti MD ikutan kadrun. MD yang asli itu bukan bagian dari kadrun, MD ya MD.
Untuk lebih jelasnya bedanya NU dan Muhammadiyah menurut Gus Dur seperti tulisan di bawah ini yang merupakan kiriman dari teman-teman NU.
Gus Dur, NU dan Muhammadiyah
Di teras masjid selepas shalat maghrib, para wartawan mengerubungi Gus Dur. Belum sempurna Gus Dur menyandarkan punggungnya ke tembok, pertanyaan berat disodorkan kepada dirinya.
“Gus, bagaimana pandangan Islam tentang Indonesia yang memilih bentuk negara Pancasila, bukan negara Islam?” tanya wartawan.
“Menurut siapa dulu, NU atau Muhammadiyah?” tanya Gus Dur balik.
“NU, deh Gus,” kata wartawan.
“Hukumnya boleh. Karena bentuk negara itu hanya wasilah, perantara. Bukan ghayah, tujuan“, jawab Gus Dur.
“Kalau menurut Muhammadiyah?” tanya wartawan.
“Sama” jawab Gus Dur singkat.
Wartawan melanjutkan pertanyaan berikutnya, “Kalau melawan Pancasila, boleh tidak Gus? Pancasila kan bukan Al-Qur’an?”
“Menurut NU atau Muhammadiyah?” jawab Gus Dur.
“Muhammadiyah, coba” kata wartawan.
“Tidak boleh. Pancasila itu bagian dari kesepakatan, perjanjian. Islam mengecam keras perusak janji“, jawab Gus Dur.
“Kalau menurut NU?” kata wartawan.
“Sama“, jawab Gusdur singkat.
Sampai di sini, para wartawan mulai jengkel. Mereka merasa dikerjain Gus Dur. Jawaban menurut NU dan Muhammadiyah kok selalu sama.
“Anda gimana sih, Gus. Kalau memang pandangan NU dan Muhammadiyah sama, ngapain kami disuruh milih menurut NU atau Muhammadiyah?” tanya wartawan.
“Ya… kita harus dudukkan perkara pemikiran organisasi para ulama itu dengan benar, mas. Nggak boleh serampangan“, jawab Gus Dur.
“Serampangan bagaimana?” sahut wartawan.
“Kalau Muhammadiyah itu kan ajarannya memang merujuk ke Rasulullah“, jawab Gus Dur.
“Lha, kalau NU?” tanya wartawan.
“Ya sama.”
😅😂🤣
Jadi baik NU dan Muhammadiyah yang asli itu sama. NU didirikan KH. Hasyim Asy’ari dan MD didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Beliau berdua murid dari Syaikhona Kholil Bangkalan Madura.
Baik NU dan MD merupakan organisasi yang didirikan para ulama yang memiliki sanad keilmuan yang jelas melalui para guru yang terhubung langsung dengan Rosulullah tanpa putus.
Demikian juga ajaran Buddha Mahayana dan Buddha Theravada, sama-sama diajarkan oleh Sang guru Sidharta Budha Gautama.
Ayo menjelang bulan suci Ramadhan, kita tingkatkan ibadah kita kepada Allah SWT. Marilah umat islam sedunia untuk menjalankan puasa dan ibadah-ibadah lain di bulan Ramadhan dengan khusyuk kepada Allah SWT. Agar kita mendapatkan ampunan, mahfiroh dan terhindar dari siksa api neraka.
Tetap rukun dengan siapa saja, jaga toleransi beragama, alangkah indahnya hidup berdampingan. Jaga sikap kita untuk saling menghormati dan menghargai antar penganut agama lain, seperti tidak memaksakan orang lain untuk menganut agama kita dan tidak mencela atau menghina agama lain dengan alasan apapun.
Nurul Azizah, penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi“. Minat hub penulis atau SintesaNews.com 0858-1022-0132.
Habib Husein Ja’far Al-Hadar bersama Bhante Buddha.
Baca Artikel lain penulis di Kolom Bunga Rampai