Film Marley: Semiotika Markibong Ala Denny Siregar

Penulis: Andre Vincent Wenas

Apakah ini juga semacam karya “perlawanan” seorang Denny Siregar (DS) terhadap kaum fanatik-radikalis lagi? Bukankah selama ini DS dikenal sebagai anti-thesis dari berbagai pentolan kaum fanatik-radikalis?

Hmm… nampaknya sih begitu! Gak jauh-jauh dari situ memang. Markibong! Mari kita bongkar… semuanya.

-Iklan-

Hasrat DS untuk “membongkar” banyak kebohongan dan penyesatan publik oleh para “musuh ideologis”nya mendapat medium baru, film berlayar lebar, dengan aktor-aktrisnya serta teknik sinematografis yang lebih canggih lagi.

Coba saja lihat, bersama Marley, si anjing pitbull yang berhasil lolos dari tempat pejagalan anjing milik seorang babah-taukeh (etnis Cina tentunya), dengan co-starring-nya Doni, diperankan Tengku Tezi. Dari namanya saja sudah tercium aroma Aceh, locus yang dikenal sebagai Serambi Mekah.

Ada aroma Batak pula di film itu. Seorang lae berperan sebagai ‘talent-scouting’ (pemburu) untuk calon anjing yang bakal dijagal. Apakah lantaran etnis inilah yang punya semacam “legacy” sebagai konsumen loyal daging anjing? Sayangnya (atau untungnya?) etnis Manado yang sama juga punya legacy penikmat daging RW rupanya “selamat” dari sorotan DS (paling tidak dalam film ini).

Orang dari etnis Aceh bermain peran bersama seekor anjing (Anda faham khan maknanya?). Tapi kemudian dibungkus dengan tema cinta sesama makhluk, dan sekaligus melodrama percintaannya dengan seorang janda cantik. Kaku dan menggemaskan.

Kisah kasih perjaka versus janda beranak satu ini akhirnya pupus di tengah jalan (atau di akhir jalan?) lantaran Doni ketabrak truk. Penonton pun bengong, lho kok gitu akhirannya?

Ini mungkin gaya “perlawanan” ala DS juga yang berontak dengan pakem klasik cerita film ala Hollywood (Amerika Serikat) yang “harus” happy-ending. Demi customer-satisfaction.

Realitas hidup di dunia yang fana ini khan tidak selalu mesti happy-ending. Walau scene di pekuburan itu ada kata-kata penghiburan klasik, “…sudahlah Doni khan sudah bahagia di atas sana!”

Sang janda cantik beranak satu itu pun mengangguk pelan, namun tetap sedih. Sambil membuka diary almarhum Doni, ia mengenang kehidupan yang lalu. Tapi sekaligus pemirsa diajak untuk mengingat saat kematiannya masing-masing kelak. Memento-mori.

Ya, memento-mori. Senatiasa ingatlah akan kematianmu. Ini semboyan para frater Trappa yang mengajar kita agar selalu memberi yang terbaik dalam hidup ini. Saat menjalani aktivitas sehari-hari kerjakanlah seolah itu di hari terakhir hidup kita. Sehingga setiap hal yang kita lakukan bakal berarti bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Di film ini DS malah menyodorkan episode penutup yang sad-ending. Paling tidak untuk kisah melodrama percintaan perjaka versus janda. Ending film yang mirip dengan gaya sineas Perancis. Katharsis ala Eropa.

Tapi, sekali lagi, sepanjang film ini berbagai pesan motivasional (plus kritik sosial-kultural) terus disemburkan oleh DS lewat acting para pemain filmnya: “Kamu gak boleh menyerah, seburuk apa pun situasimu!”, “Hidup ini seperti permainan, rileks saja, percaya diri, tetap semangat!”, “Sayangi binatang termasuk anjing”, dst, dsb.

Pesan dan kritik halus itu terus menghujam dan menjejali cerebral-cortex para pemirsanya. Harapannya tentu agar itu semua bisa merangsang sel-sel saraf kita supaya terjadi koneksi sinaps ke bagian yang lebih dalam lagi. Merangsang kewarasan!

Ini karya perdana film layar lebar dari seorang pegiat medsos yang kontroversial. Denny Siregar adalah produser-eksekutifnya.

Di awal film itu tersorot poster seorang penyanyi rastafari asal Jamaica, Robert (Bob) Nesta Marley, lahir 6 Februari 1945, wafat 11 Mei 1981. Mati muda ya.

Bob Marley dikenal sebagai tokoh perintis aliran musik reggae yang juga ikon budaya pop (pop culture). Gerak budaya yang “berontak” terhadap kemapanan atau segala apa pun yang dianggap ‘mapan’.

Oleh kaum akademisi ilmu sosial, rastafari juga dikarakterisasi sebagai gerakan politik. Semacam “politico-religious movement”, gerakan protes sosial atau bahkan gerakan sosial-budaya baru.

Setiap bangun pagi, Doni selalu menyapa poster Bob ini, untuk kemudian pamitan dengan foto kedua ortunya yang sudah almarhum. Sampai akhirnya anjing pitbull itu pun “diperkenalkan” dengan poster Bob. Singkatnya ia bilang, “Bob, kenalkan ini Marley, dan Marley ini Bob!” New era has begun… wuff…wuff!

Ikon budaya pop (pemberontak) itu pun berkenalan dengan seekor pitbull, anjing yang – katanya – berkarakter keras kepala, ulet dan tak kenal takut. Bob Marley dan Pitbull, apakah gabungan sifat keduanya adalah refleksi (pantulan sifat) dari produser-eksekutif film ini? Hmm…

Sekedar input. Jalannya alur cerita film ini terasa rada “lamban” dan “agak tersendat” di beberapa segmen. Kita mesti sabar menonton. Beberapa scene-nya juga agak repot untuk dicerna common-sense (nalar-umum). Namun untungnya fotografi (teknik pengambilan gambar dari cameraman-nya) keren, plus musik latarnya cukup apik dan kadang menghentak, sehingga bisa membangunkan penonton dari godaan ngantuk.

Kita bisa maklum kok, ini khan karya DS yang perdana di dunia film berlayar lebar. Pasti beda dengan teknik produksi di layar kecil YouTube.

Namun kita apresiasi keberaniannya untuk berekspansi dan mendiversifikasi media “propaganda”nya demi melawan kedzoliman terhadap hati nurani dan kewarasan publik.

Markibong! …mari kita bongkar semuanya. Tetap semangat DS.

Overcome the devils with a thing called love.” – Bob Marley.

You never know how strong you are, until being strong is the only choice you have.” – Bob Marley.

22/03/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here