Penulis: Nurul Azizah
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, kalau minyak goreng menjadi persoalan yang serius di negeri ini.
Pada bulan September 2021 harga minyak goreng masih stabil Rp 26.000 – Rp 27.000 per dua liter. Lama-lama kok mulai susah dicari, kalau pun ada harganya mencapai Rp 30.000. Harga terus beranjak naik hingga Rp 32.000 pada bulan Oktober 2021 (berdasarkan pengamatan penulis yang sering beli minyak goreng dalam kemasan 2 liter) naik lagi, dan terus naik.
Hingga akhir Oktober 2021 harga minyak goreng menurut catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional terus merangkak naik. Harga minyak goreng secara nasional terus naik, yang kemasan bermerk hingga Rp 17.200 per liter.
Memasuki bulan berikutnya November hingga Desember 2021, harga minyak goreng terus naik Rp 34.000 – Rp 38.000 bahkan bisa mencapai Rp 40.000 per 2 liter untuk minyak kemasan bermerk.
Pada tanggal 19 Januari 2022, pemerintah menetapkan kebijakan satu harga untuk minyak goreng, Rp 14.000 per liter. Kebijakan berlaku di pasar modern dan pasar tradisional. Hal ini diatur dalam Permendag No 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam kerangka pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kebijakan satu harga ini diklaim sebagai upaya lanjutan untuk stabilisasi harga dan jaga ketersediaan di pasar.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memaparkan, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada bulan Januari 2022 telah melonjak 77,34% atau Rp 13.240 per liter dan akan ada kenaikan di tahun 2022.
Dalam Permendag No. 6/2022, HET (Harga Eceran Tertinggi) migor curah sebesar Rp 11.500/liter, kemasan sederhana Rp 13.500/liter, dan kemasan premium Rp 14.000/liter. Kebijakan HET ini berlaku 1 Februari 2022 sekaligus mencabut Permendag No. 3/2022.
Ketika harga Rp 14.000 per liter, tiba-tiba saja minyak goreng (migor) hilang dari rak-rak supermarket. Di pasar tradisioal ada migor tetapi tidak dengan harga subsidi atau Rp 14.000/liter.
Tentunya orang berburu migor dengan harga subsidi dari pemerintah. Pada mulanya ada migor di Supermarket dengan harga Rp 14.000/liter. Tapi berebut dan langka. Semua rak-rak migor kosong.
Usaha menteri perdagangan untuk memberikan harga minyak dengan harga subsidi tidak berjalan mulus. Banyak orang tiba-tiba setiap hari memburu migor padahal tidak butuh. Kemungkinan ya ditimbun atau dijual lagi dengan harga yang jauh lebih mahal.
Pada umumnya seorang ibu rumah tangga paling dalam sebulan 4-5 liter. Kalau di Semarang memang segitu, suka membuat mendoan dan goreng krupuk serta tumis-tumis.
Tapi mengapa setiap pergi ke Supermarket selalu saja memburu minyak bersubsidi. Beli dan beli akhirnya stok melimpah di rumah. Hal ini menunjukkan orang yang berperilaku kurang irasional, membeli migor bukan berdasarkan kebutuhan tetapi berdasarkan nafsu.
Ada saja ibu-ibu yang setiap hari rela mengantri di depan supermarket sebelum jam 9 pagi. Ketika pintu supermarket dibuka mereka berhamburan dan berebut minyak bersubsidi yang memang disediakan oleh pihak supermarket 5 dus setiap harinya. Kejadian ini penulis amati hingga hari Selasa, 15 Maret 2022.
Maaf, kalau penulis bersikap rasional saja, beli migor sesuai kebutuhan, mengikuti harga yang ada di pasaran, ngapain dibuat stres. Kayak hidup di zaman PKI tahun 1965. Hidup susah penuh dengan penderitaan. Dinikmati saja, kita masih lumayan, walau mahal masih ada barangnya. Lain pas zaman PKI, harga mahal barang tidak ada. Kalau penulis mengikuti ibu-ibu yang selalu berburu minyak, bisa setres, bagaimana tidak setres, kalau harus meluangkan waktu dan tenaga untuk terus berburu migor, apa nanti kata orang, terus bagaimana menjalankan tugas utama sebagai pendidik.
Hidup itu dinikmati saja, selagi masih mampu membeli, belilah sesuai dengan kebutuhan. Syukuri saja apa yang terjadi, semua adalah Sunatullah.
Rabu siang (16/3/2022) saat pulang kerja, penulis belanja di Supermarket, heran juga melihat rak-rak minyak mulai terisi tapi dengan harga baru Rp 24.205/liter atau Rp 47.900/2 liter.
“Lha kok baru harganya mbak, yang subsidi sudah tidak ada ya,” tanyaku pada penjaga Supermarket.
“Ya bu, yang harga subsidi sudah habis,” jawab si mbak dengan tersenyum.
Mulai Rabu, 16 Maret 2022 migor banyak bermunculan lagi di rak-rak. Ternyata pemerintah mencabut harga eceran tertinggi (HET) sejak Rabu, 16/3/2022 menyusul adanya kelangkaan yang terjadi belakangan ini.
Ketika HET minyak goreng dilepas, pasar bereaksi. Tak menunggu lama, para pedagang mulai menjual harga migor dengan banderol baru. Harga termurah Rp 24.000/liter.
Dengan alasan demi cegah kelangkaan, pemerintah melepas harga migor ke mekanisme pasar. Tujuannya untuk menghindari kelangkaan migor konsumsi rumah tangga pasca pelaksanaan konferensi pers terkait pencabutan ketentuan HET migor sawit.
Hal itu disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi dalam rapat kerja (Raker) komisi VI DPR RI dengan Mendag perihal Harga Komoditas dan Kesiapan Kementrian Perdagangan dalam Stabilisasi harga dan Pasokan Barang Kebutuhan Menjelang Puasa dan Lebaran, Kamis (17/3/2022). Dengan demikian Mendag per 16 Maret 2022 menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 11/2022 yang mencabut ketentuan HET Permendag No 06/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng.
Baca juga: Mendag Lutfi Lawan Mafia Minyak Goreng, Senin Diumumkan Nama-nama Calon Tersangkanya
Maka gegerlah seantero negeri ini, ibu-ibu pada bergunjing soal mahalnya minyak goreng. Dari sudut rumah satu ke rumah lainnya pada membicarakan mahalnya harga migor. Ibu-ibu terus teriak migor, mulai dari harga migor, naiknya harga sembako sampai tidak cukupnya pendapatan yang diperoleh.
Ibu-ibu yang dulu bernafsu memburu minyak bersubsidi mulai menghentikan kegiatannya. Naiknya harga minyak akan menekan nafsu konsumen membeli minyak. Atau paling tidak kita merasakan betapa mahalnya migor tanpa subsidi dari pemerintah.
Baru tahu ya, selama ini kita menikmati migor dengan harga subsidi dari pemerintah.
Ketika harga diserahkan pada mekanisme pasar, banyak yang menghujat pak Jokowi. Aduh…, banyak sekali yang mencela Bapak Presiden kita.
Jangan su’udzon dulu pada pemerintah. Berprasangka baik saja, serahkan harga minyak pada mekanisme pasar.
Kalau harga naik, permintaan akan turun. Tidak ada lagi yang menimbun migor. Habisin dulu persediaan yang ada.
Hal ini berlaku hukum permintaan dan penawaran.
Bunyi hukum permintaan, “apabila harga barang atau jasa mengalami penurunan, maka jumlah permintaan akan terus naik. Namun sebaliknya, jika harga naik maka permintaan akan turun.”
Hukum penawaran mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi produsen saat menawarkan barang atau jasa kepada konsumen. Bunyi hukum penawaran: “Jika harga naik, penawaran meningkat, sehingga jika harga turun, penawaran juga akan turun.
Kita berdoa saja, semoga dalam waktu dekat ada perubahan harga minyak goreng, seiring menurunnya permintaan.
Ingatlah prilaku yang baik, “saat terjadi inflasi, bertahanlah untuk tidak banyak membeli, belilah sesuai yang kita butuhkan saja. Semakin kita ikatkan tali pinggang kita, untuk menahan diri tidak mengkonsumsi yang berlebih.”
Jangan teriak terus ibu-ibu, apa tidak capai. Lebih baik cari solusi seperti yang pernah dilakukan nenek-nenek kita dulu. Mereka membuat migor sendiri dari kelapa hasil kebon. Kelapa diparut, diambil santannya, kemudian santan yang kental dimasak hingga berubah menjadi minyak. Minyak disaring, dipisahkan dengan ampasnya.
Sekali-kali dicoba membuat migor sendiri, disaat harga migor mahal. Nanti kalau harga migor sudah terjangkau kita beli lagi migor kemasan. Cobalah membuat migor dengan ibu-ibu yang lain, jangan malah terus ngerumpi membuang waktu dan tenaga hanya membahas mahalnya migor tanpa mencari solusinya. Sampai kapan ibu-ibu akan terus teriak tentang migor, apa tidak capai.
Belajarlah dari kasus masker saat awal adanya virus Covid-19, harga masker mahal dan langka. Kemudian banyak dari ibu-ibu dan familinya membuat masker sendiri dari bahan kain yang ada. Apa yang terjadi, sekarang persediaan masker melimpah dan harga murah. Orang tidak lagi tergantung dari masker buatan pabrik. Karena permintaan masker dari pabrik menurun, harganya pun ikut turun.
Semoga hal ini bisa terjadi pada migor, ibu-ibu tidak lagi menggantungkan diri pada migor buatan pabrik, buatlah sendiri seperti yang dicontohkan nenek-nenek kita.
Nurul Azizah, Penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi“, minat hub. penulis atau SintesaNews.com 0858-1022-0132.
Baca tulisan lain Nurul Azizah di Bunga Rampai