Mendag Muhammad Lutfi Seperti Nasaruddin Hoja yang Kehilangan Cincinnya

Penulis: Andre Vincent Wenas

Pernah dengar cerita sufi tentang Nasaruddin Hoja mencari cincinnya yang hilang?

Sekali peristiwa, tetangganya melihat Nasaruddin Hoja (NH) sedang celingukan di jalan raya. Tetangga (TG) itu pun bertanya, “Lagi ngapain kamu Din?”

-Iklan-

NH: “Oh, aku sedang mencari cincinku yang tadi jatuh dan hilang.”
TG: “Wah, itu cincin mahal yang biasa kamu pakai ya? Mari aku bantuin!”
NH: “Terima kasih, terima kasih!”
TG: “Baideweibaswei, tadi jatuhnya di sekitar mana ya?”
NH: “Hmm… tadi aku lagi beresin gudang dan terjatuh di dalam sana.”
TG: “Lahhhh… kalo jatuhnya di dalam gudang kenapa dong nyarinya di jalan raya???” (sambil merengut).
NH: “Iya soalnya di dalam gudangku itu gelap, sedangkan di jalan raya ini khan terang!” (dengan tampang polos, tapi menjengkelkan).

Minyak goreng juga hilang dari pasaran, penyebab hilangnya apa? Kalau hilangnya di gudang CPO, kenapa mencarinya di jalan raya (pasar konsumen)?

Artinya, yang masalah itu pasokan CPO (crude palm oil), atau Minyak Goreng (RBDPO, refined bleached deodorized palm oil)?

Tepatnya, mana yang lebih dulu hilang? Bukankah industri minyak goreng (RBDPO) tidak bisa memproduksi minyak goreng kalau tidak dipasok bahan baku CPOnya dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Itu dua industri yang berbeda, walau sejenis.

Supaya tidak mengulang-ulang, silahkan tinjau kembali unggahan video tentang latar belakangnya di Kanal Youtube PERSPEKTIF, ada dua tayangan. Ini link-nya: 1) Mencari Minyak Goreng yang Menghilang Dari Rak Toko , dan 2) Minyak Goreng Hilang Kemana?

Singkat cerita, pasokan CPO itu cukup (atau berlebih kalau hanya untuk kebutuhan dalam negeri).

Gambaran besarnya secara singkat begini, produksi CPO nasional: 47,47 juta kilo liter. Untuk kebutuhan domestik sekitar 16,5 juta kilo liter, jadi masih sisa sekitar 31 juta kilo liter yang bisa (boleh) diekspor.

Kebutuhan CPO nasional (domestik) sekitar 16,5 juta kilo liter itu pembagiannya begini: untuk proyek BioDiesel dialokasikan 9,2 juta kilo liter. Untuk konsumsi jadi minyak goreng sekitar 3,2 juta kilo liter. Jadi masih ada lebih sekitar 4,8 juta kilo liter untuk keperluan domestik lainnya selain minyak goreng dan biodiesel.

Tuh khan, secara hitungan di atas kertas mestinya melimpah ruah dong pasokan CPO untuk keperluan domestik (yang untuk proyek BioDiesel dan yang untuk Minyak Goreng, maupun lain-lainnya).

Jadi di mana persoalannya? Kok bisa ada kelangkaan minyak goreng di pasar konsumen? Aneh.

Kalau CPO yang untuk proyek BioDiesel maupun yang untuk minyak goreng itu bukan persoalan utama (pareto-principle)-nya, lalu ke mana dong larinya itu CPO?

Senin 7 Maret 2022, Mulyanto, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) melaporkan bahwa saat ini ada enam produsen minyak goreng yang berhenti produksi. Kenapa? Karena tidak mendapat pasokan CPO (crude palm oil)!

Maka, Mulyanto mendesak pemerintah untuk hadir memastikan CPO DMO (domestic market obligation) untuk industri minyak goreng nasional ini mengalir dengan baik. Katanya, “Masalah utamanya kan di titik ini. Kalau produksi aman tentunya perlahan tapi pasti distribusi juga akan aman.”

Jadi semakin terang benderang bahwa masalahnya ada di pasokan CPO (dari Pabrik Kelapa Sawit/PKS) untuk industri minyak goreng (refinery).

Sementara itu, tak lama sebelumnya, 18 Februari 2022, di laman resmi Kementerian Perdagangan terbaca berita, “Menteri Perdagangan M. Lutfi Kembali Sidak ke Pasar dan Distributor, Mendag: Distribusi Migor Harus Cepat dan Masif.”

Duh! Ini kok seperti Nasaruddin Hoja yang mencari cincinnya yang hilang di gudang tapi mencarinya di jalan raya.

08/03/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here